Pages

Showing posts with label Tokoh Islam. Show all posts
Showing posts with label Tokoh Islam. Show all posts

Sunday, 23 January 2011

Sultan Abdul Hamid II: Sang Pembela Sejati Palestina


by Asma Al Khilafah on Tuesday, 16 November 2010 at 15:29
 
 
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Sejak zaman Kesultanan Turki Utsmani, bangsa Israel sudah berusaha tinggal di tanah Palestina. Kaum zionis itu menggunakan segala macam cara, intrik, maupun kekuatan uang dan politiknya untuk merebut tanah Palestina.

Di masa Sultan Abdul Hamid II, niat jahat kaum Yahudi itu begitu terasa. Kala itu, Palestina masih menjadi wilayah kekhalifahan Turki Utsmani. Sebagaimana dikisahkan dalam buku Catatan Harian Sultan Abdul Hamid II karya Muhammad Harb, berbagai langkah dan strategi dilancarkan oleh kaum Yahudi untuk menembus dinding Kesultanan Turki Utsmani, agar mereka dapat memasuki Palestina.

Pertama, pada 1892, sekelompok Yahudi Rusia mengajukan permohonan kepada Sultan Abdul Hamid II, untuk mendapatkan izin tinggal di Palestina. Permohonan itu dijawab Sultan dengan ucapan ''Pemerintan Utsmaniyyah memberitahukan kepada segenap kaum Yahudi yang ingin hijrah ke Turki, bahwa mereka tidak akan diizinkan menetap di Palestina''. Mendengar jawaban seperti itu kaum Yahudi terpukul berat, sehingga duta besar Amerika turut campur tangan.

Kedua, Theodor Hertzl, Bapak Yahudi Dunia sekaligus penggagas berdirinya Negara Yahudi, pada 1896 memberanikan diri menemui Sultan Abdul Hamid II sambil meminta izin mendirikan gedung di al-Quds. Permohonan itu dijawab sultan, ''Sesungguhnya Daulah Utsmani ini adalah milik rakyatnya. Mereka tidak akan menyetujui permintaan itu. Sebab itu simpanlah kekayaan kalian itu dalam kantong kalian sendiri''.

Melihat keteguhan Sultan, mereka kemudian membuat strategi ketiga, yaitu melakukan konferensi Basel di Swiss, pada 29-31 Agustus 1897 dalam rangka merumuskan strategi baru menghancurkan Khilafah Utsmaniyyah. Karena gencarnya aktivitas Zionis Yahudi akhirnya pada 1900 Sultan Abdul Hamid II mengeluarkan keputusan pelarangan atas rombongan peziarah Yahudi di Palestina untuk tinggal di sana lebih dari tiga bulan, dan paspor Yahudi harus diserahkan kepada petugas khilafah terkait. Dan pada 1901 Sultan mengeluarkan keputusan mengharamkan penjualan tanah kepada Yahudi di Palestina.

Pada 1902, Hertzl untuk kesekian kalinya menghadap Sultan Abdul Hamid II. Kedatangan Hertzl kali ini untuk menyogok sang penguasa kekhalifahan Islam tersebut. Di antara sogokan yang disodorkan Hertzl adalah: uang sebesar 150 juta poundsterling khusus untuk Sultan; Membayar semua hutang pemerintah Utsmaniyyah yang mencapai 33 juta poundsterling; Membangun kapal induk untuk pemerintah dengan biaya 120 juta frank; Memberi pinjaman 5 juta poundsterling tanpa bunga; dan Membangun Universitas Utsmaniyyah di Palestina.

Namu, kesemuanya ditolak Sultan. Sultan tetap teguh dengan pendiriannya untuk melindungi tanah Palestina dari kaum Yahudi. Bahkan Sultan tidak mau menemui Hertzl, diwakilkan kepada Tahsin Basya, perdana menterinya, sambil mengirim pesan, ''Nasihati Mr Hertzl agar jangan meneruskan rencananya. Aku tidak akan melepaskan walaupun sejengkal tanah ini (Palestina), karena ia bukan milikku. Tanah itu adalah hak umat Islam. Umat Islam telah berjihad demi kepentingan tanah ini dan mereka telah menyiraminya dengan darah mereka.''

Sultan juga mengatakan, ''Yahudi silakan menyimpan harta mereka. Jika suatu saat kekhilafahan Turki Utsmani runtuh, kemungkinan besar mereka akan bisa mengambil Palestina tanpa membayar harganya. Akan tetapi, sementara aku masih hidup, aku lebih rela menusukkan pedang ke tubuhku daripada melihat Tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islamiyah. Perpisahan adalah sesuatu yang tidak akan terjadi. Aku tidak akan memulai pemisahan tubuh kami selagi kami masih hidup.''

Sejak saat itu kaum Yahudi dengan gerakan Zionismenya melancarkan gerakan untuk menumbangkan Sultan. Dengan menggunakan jargon-jargon "liberation", "freedom", dan sebagainya, mereka menyebut pemerintahan Abdul Hamid II sebagai "Hamidian Absolutism", dan sebagainya.

''Sesungguhnya aku tahu, bahwa nasibku semakin terancam. Aku dapat saja hijrah ke Eropa untuk menyelamatkan diri. Tetapi untuk apa? Aku adalah Khalifah yang bertanggungjawab atas umat ini. Tempatku adalah di sini. Di Istanbul!'' Tulis Sultan Abdul Hamid II dalam catatan hariannya.

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/10/07/14/124626-sultan-abdul-hamid-ii-sang-pembela-sejati-palestina

Wednesday, 12 January 2011

KH Abdul Wahab Hasbullah: Inisiator Konferensi Khilafah

KH Abdul Wahab Hasbullah: Inisiator Konferensi Khilafah

by Komunitas Rindu Syariah & Khilafah on Saturday, 21 August 2010 at 14:28
 
 
KH Abdul Wahab Hasbullah: Inisiator Konferensi Khilafah

Membicarakan KH Abdul Wahab Hasbullah seharusnya tidak bisa dilepaskan dengan perjuangan beliau dalam penegakan kembali Khilafah yang dihancurkan oleh Mustafa Kemal Attaharturk pada tahun 1924 dan berdirinya Nahdlatul Ulama (NU).
Karel A. Steenbrink menulis, pada tahun 1924 Kekhalifahan di Turki dihapuskan oleh pemerintahan Mustafa Kemal Attaturk yang sekular dengan menamakan pemerintahannya Republik Turki, diproklamirkan 19 Oktober 1923. Langkah pertama yang dia lakukan adalah sekularisasi, yakni penghapusan Islam sebagai agama resmi negara, penghapusan lembaga kesultanan, dan berikutnya penghapusan Kekhalifahan, menyusul digantinya syariah Islam dengan hukum positif ala Barat. Lalu digantinya huruf Arab dengan huruf Latin dan dilarangnya "pakaian Arab". Rakyat Turki, terutama aparat pemerintah, harus menggunakan pakaian ala Eropa. Bacaan ibadah harus menggunakan bahasa Turki. Namun, ini tidak berlangsung lama, karena protes datang dari berbagai ulama di dalam maupun luar negeri.1

Dr. Deliar Noer menulis bahwa penghapusan Kekhalifahan di Turki menimbulkan kebingungan pada Dunia Islam pada umumnya, yang mulai berpikir tentang pembentukan suatu Kekhilafahan baru. Masyarakat Islam Indonesia bukan saja berminat dalam masalah ini, malah merasa berkewajiban memperbincangkan dan mencari penyelesaiannya. Kebetulan Mesir bermaksud mengadakan kongres tentang Khilafah pada bulan Maret 1924. Sebagai sambutan atas maksud ini, dibuatlah sebuah komite Khilafah yang didirikan di Surabaya tanggal 4 Oktober 1924 dengan ketua Wondosudirdjo (kemudian dikenal dengan nama Wondoamiseno) dari Sarekat Islam dan wakil ketua KHA Wahab Hasbullah. Guliran usul ini selanjutnya diperkuat dalam Kongres Al-Islam ketiga di Surabaya bulan Desember 1924, yang antara lain memutuskan untuk mengirim sebuah delegasi ke Kongres Kairo, terdiri dari Surjopranoto (Sarekat Islam), Haji Fachruddin (Muhammadiyah) serta KHA Wahab dari kalangan tradisi.2

Namun, kongres di Kairo itu ditunda, sedangkan minat orang-orang Islam di Jawa tertarik lagi pada perkembangan di Hijaz saat Ibnu Sa'ud berhasil mengusir Syarif Husein dari Makkah tahun 1924. Segera setelah menangani ini pemimpin Wahabi itu mulai melakukan pembersihan dalam kebiasaan praktik beragama sesuai dengan ajarannya, walaupun ia tidak melarang pelajaran mazhab di Masjid al-Haram. Tindakannya ini sebagian mendapat sambutan baik di Indonesia, tetapi sebagian juga ditolak. Namun, dengan kemenangan Ibnu Sa'ud ini, baik Makkah maupun Kairo berebut kedudukan khalifah.3

Ibnu Sa'ud selanjutnya berinisiatif mengundang kaum Muslim di Indonesia untuk menghadiri Kongres Khilafah di Makkah. Atas undangan ini umat Islam membicarakan di Kongres Al-Islam keempat di Yogyakarta (21-27 Agustus 1925) dan di Kongres Al-Islam kelima di Bandung (6 Februari 1926).

Di dalam Komite Khilafah ini, dalam perkembangannya ternyata muncul 'friksi' antara 'golongan pembaru Islam' dan 'kalangan tradisionalis'. Munculnya 'friksi' diakibatkan oleh adanya 'perbedaan pandangan' terkait masalah-masalah ibadah. Hal ini tampak dari kedua Kongres Al-Islam di atas yang didominasi oleh golongan pembaru Islam. Bahkan sebelum kongres di Bandung diadakan satu rapat terlebih dulu antara organisasi-organisasi 'pembaru' di Cianjur, Jawa Barat (8-10 Januari 1926) dan memutuskan untuk mengirim Tjokroaminoto dari Sarekat Islam dan Kiyai Haji Mas Mansur dari Muhammadiyah ke Makkah, meninggalkan KH Abdul Wahab Hasbullah untuk mengikuti kongres.

Pada Kongres Al-Islam di Bandung yang sejatinya hanya memperkuat keputusan rapat di Cianjur, KH Abdul Wahab Hasbullah, atas nama kalangan tradisi, mengajukan usul agar kebiasaan-kebiasaan agama seperti membangun kuburan, membaca doa seperti dalail al-khairat dan ajaran mazhab, dihormati oleh kepala negeri Arab yang baru dalam negaranya, termasuk di Makkah dan Madinah.

Karena terdapat 'friksi' dalam masalah inilah maka kalangan 'pembaru' yang lebih dominan dalam Kongres Al-Islam di Bandung ini tidak menyambut baik usul-usul KH Abdul Wahab Hasbullah ini, sehingga beliau dan tiga orang pendukungnya keluar dari Komite Khilafah tersebut di atas.

KH Wahab selanjutnya mengambil inisiatif mengundang dan mengajak para ulama-ulama yang beliau kenal seperti dari Surabaya, Semarang, Pasuruan, Lasem, Pati dan masih banyak lagi untuk diajak rapat-rapat membahas masalah kehancuran Khilafah. Dalam rapat-rapat tersebut dihasilkan keputusan bahwa mereka bersepakat untuk mendirikan suatu panitia yang disebut Komite Merembuk Hijaz. Komite inilah yang diubah menjadi Nahdlatul Ulama pada suatu rapat di Surabaya tanggal 31 Januari 1926. Rapat itu memutuskan untuk tetap konsisten menempatkan masalah Hijaz [penegakan kembali Khilafah] sebagai pokok pembicaran utama.4 [Gus Uwik]

Catatan kaki:

1 Lihat: Leksikon Islam, Pustazet Perkasa, Jakarta, 1988,II/733.
2 Deliar Noer, Bendera Islam, Jakarta, 22 Januari 1925.
3 Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, LP3ES, Jakarta, cetakan ketiga, 1985, hlm. 242-243.
4 Deliar Noer, Ibid, hlm. 243, mengutip Utusan Nahdlatul Ulama, Tahun I No. I (1 Rajab 1347H; yaitu 14 Desember 1928), hlm. 9.

Sebarkan, semoga menjadi amalan sholeh !!

Tuesday, 4 January 2011

Hassan Al Banna : Semarak Perjuangannya Masih Terasa.Allahhuakbar~!!!

by Intan Suhada on Saturday, 28 August 2010 at 18:39
 
Harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama dan jasa yang ditaburkan. Inilah yang dapat diperkatakan mengenai keperibadian tokoh pada kali ini iaitu As Syahid Imam hassan Al Banna. Walaupun telah 54 tahun Almarhum meninggalkan kita semua, namun perjuangan dan kegigihannya dalam menegakkan kembali Islam di bumi Mesir tetap kukuh bersemadi dalarn hati sanubari masyarakat Islam hingga ke hari ini.


Tanggal 12 Februari 1949 meninggalkan sejarah hitam dan pilu bagi masyarakat Islam khususnya pejuang-pejuang agama. Pada tarikh itu dunia Islam kehilangan seorang ulama dan mujahid yang menjadi pelopor dalam mengembalikan kegemilangan Islam ke kemuncaknya. Pemergiannya yang tidak diduga merupakan suatu pembunuhan kejam hasil konspirasi musuh-musuh Islam yang berselindung di sebalik Raja Farok, pemerintah Mesir pada ketika itu.

Imam Hassan Al Banna telah dilahirkan pada Oktober 1906 di desa al Mahmudiya yang terletak di daerah al Bahriyyah, Iskandariah, Mesir. Beliau berasal dari sebuah keluarga Ulama yang dihormati dan terkenal kerana begitu kuat mentaati ajaran dan nilai-nilai Islam. Mujahid Islam ini dibesarkan dalam suasana keluarga yang merendah diri dan hidup dalam keadaan yaug serba sederhana.

Hassan al Banna merupakani anak sulung daripada lima beradik. Ayahnya, Syeikh Ahmad ibn Abd al Rahman al-Banna. adalah seorang ulama, imam, guru dan pengarang beberapa buah kitab hadis dan fikah perundangan Islam, yang berkelulusan dari Universiti Al Azhar Mesir. Beliau dikenali sebagai seorang yang bersopan santun, pemurah, merendah diri dan tingkah laku yang menarik. Namun beliau hanya bekerja sebagai pembaik jam di desa al Mahmudiya untuk menyara keluarganya. Masa yang selebihnya digunakann untuk mengkaji, menyelidik dan mengajar ilmu-ilmu agama seperti tafsir al Quran dan hadis kepada penduduk tempatan.

Ayah Hassan Al Banna

Sebagai seorang ulama, Sheikh Ahmed Abd Rahman al Banna mempunyai perpustakaan yang agak besar di rumahnya. Beliau menghabiskan sebahagian masanya mempelajari Sunnah Rasulullah dan membincangkannya dengan rakan-rakan di kedai dan di rumah. Hassan al-Banna juga sering menghadiri dan mengambil bahagian dalarn perbincangan tersebut. Pertemuan ini memberi kesan yang mendalam kepada pemikiran, wawasan dan yang penting perwatakannya. Ketokohan, keilmuan dan keperibadian Syeikh Ahmad al Banna diwarisi oleh Hassan al Banna.

Sifat kepimpinan Hassan al Banna terserlah sejak beliau masih di sekolah rendah. Beliau menjadi pernimpin Badan Latihan Akhlak dan Jemaah al-Suluka al-akhlaqi yang dikelolakan oleh gurunya di sekolah. Pada peringkat ini beliau telah menghadiri majlis-majlis zikir yang diadakan oleh sebuah pertubuhan sufi, al-lkhwan al- Hasafiyah. Melalui pertubuhan ini beliau berkenalan dengan Ahmad al-Sakri yang kemudiannya memainkan peranan penting dalarn penubuhan Ikhwan Muslimin.

Keluarga Hassan Al- Banna begitu tegas dalam mendidik anak-anak berdasarkan ajaran Islam. Hal ini menyebabkan beliau telah menghafaz Quran dalam usia yang begitu muda dan telah memasuki Pusat Latihan Perguruan. Selepas tiga tahun di sana beliau mendapat tempat pertama dalam peperiksaan akhir. Beliau telah memasuki Darul Ulum di Kaherah pada awal usia 16 tahun kerana kebijaksanaan dan ilmu pengetahuannya yang luas.

Semasa di Kaherah, Hassan al Banna terdedah dengan pergolakan parti politik dan aliran-aliran menentang Islam yang dicetuskan oleh gerakan Kamal Ataturk. Parti-parti politik, kumpulan-kumpulan sasterawan dan pertubuhan-pertubuhan sosial sekular kebanyakannya bertujuan melemahkan pengaruh Islam. Beliau kemudian menganggotai pertubuhan Jamaitul Makram a;-Akhlaq yang giat mengadakan ceramah-ceramah Islam. Melalui pertubuhan ini, Hassan al-Banna dan rakan-rakannya menjalankan dakwah ke serata pelosok tempat, di kedai-kedai kopi dan tempat perhimpunan orang ramai.

Pada peringkat inilah beliau bertemu dan mengadakan hubungan dengan tokoh-tokoh Islam terkenal seperti Muhibbuddin al-Khatib, Muhammad Rashid Reda, Farid Wajdi dan lain-lain..


Menubuhkan lkhwan Muslim
Pada Mac 1928, dalam usia 23 tahun, Hassan al-Banna beserta adik dan lima orang sahabatnya berkumpul di rumahnya dan bersumpah untuk hidup dan mati kerana Islam. Di rumah itu jemaah Ikhwan Muslimin telah ditubuhkan. Pada ketika itu beliau baru mendapat ijazah dari Darul Ulum serta berkhidmat sebagai guru bahasa Arab di salah sebuah sekolah di bandar Ismailiyah.

Ketika ditanya mengapa beliau melibatkan diri dalam kerja kerja dakwah, Hassan al Banna dengan tegas menjawab, ia hanya Allah yang tahu berapa malam kita menghabiskan masa untuk memikirkan masalah Ummah, pada peringkat mana mereka telah melaluinya dan kesakitan dan keperitan yang telah mereka lalui. Dan kita merenung sumpahan yang dikenakan atas kesakitan yang dilalui oleh Ummah. Kesukaran dan kepahitan yang dilalui oleh mereka mungkin berakhir dengan munajat dari kita sernua.
Setelah berkhidmat selarna 19 (tahun dalam bidang perguruan, beliau meletakkan jawatan pada tahun 1946 untuk menyusun kegiatan dakwah yang berkesan dalam masyarakat di bandar. Pengalaman ahli jemaah yang dikumpulkan sekian lama menjadikan Ikhwan Muslimin sebuah gerakan yang berpengaruh.

Di dalam buku "Letter To A Muslim Student" (FOSIS,1995) kedinamikan Ikhwan Muslimin dijelaskan: Pencapaian Hassan al Banna yang paling membanggakan ialah kernampuannya membangunkan organisasi yang canggih dan berjaya menterjemahkan wawasannya dalam kehidupan sebenar. Ikhwan bukan sekadar pertubuhan yang berasaskan sosial, politik atau kumpulan agarria tetapi lebih dari itu.
Menurut Dr. Muhammad Karnal khalifah, Pensyarah di Universiti Cairo melalui mukadimah buku Ikhwan Muslimin dan Masyarakat Mesir, kemunculan Hassan Al Banna yang mendapat inspirasi dari Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh, serta menjalani aliran rakyat melahirkan golongan mukmin yang sebenar-benarnya melalui pengajian dan pembelajaran untuk menyebarkan akidah yang sahih, kefahaman yang betul dan menyeluruh tentang Islam dan sistemnya. Beliau berjuang bersungguh-sungguh untuk mencapai cita-cita tersebut. Usaha beliau ini amat dikagumi masyarakat Mesir sehingga Islam kembali kepada kedudukan yang sewajarnya dalam masyarakat.


Dalam usia yang muda, Hassan al-Banna dikagumi kerana penyampaiannya yang jelas dan terang apabila menyampaikan khutbah di masjid. Beliau dapat meyakinkan para pendengar dengan kebenaran yang dibawa, matlamat dan keikhlasannya. Beliau mampu meyakinkan golongan intelektual dan orang biasa. Berdasarkan kepimpinannya, Hassan al Banna adalah pemimpin yang bijak mengatur organisasi. Ikhwan Muslimin disusun dalam tiga peringkat iaitu memperkenalkan Ikhwan dan menyebarkan dakwah asas melalui ceramah serta kegiatan kebajikan. Kemudian membentuk keperibadian anggota agar bersedia menjalani jihad, seterusnya melaksanakan cita cita perjuangan dengan tegas.

lkhwan Muslimin berjaya menjadi sebuah gerakan yang menggegarkan Mesir terutama selepas Perang Dunia Kedua apabila pertubuhan ini turut bertanding dalam perebutan kuasa politik. Para penentangnya menyifatkan Ikhwan Muslimin sebagai negara di dalam negara. Sehingga tahun 1934, Ikhwan telah menubuhkan lebih 50 cawangannya di Mesir. Pertubuhan ini telah menubuhkan beberapa buah sekolah, masjid dan kilang. Pada penghujung Perang Dunia Kedua, lkhwan mempunyai lebih setengah juta pekerja yang aktif dan setengah juta penyokong (sesetengah sumber menyebut sekitar 3 juta). Lebih 3000 cawangan kesernuanya telah wujud di Mesir dan 50 di Sudan dihasil-kerja Ikhwan yang melangkaui batas negara.

Dalam satu jawapan yang diberikan oleh wartawan barat terhadap dirinya yang bertanyakan siapakah dia, Hassan Al Banna menjawab, saya adalah pelancong yang mencari kebenaran, dan insan yang mencari erti kemanusiaan di kalangan manusia, dan warganegara yang inginkan kemuliaan, kebebasan, kestabilan, hidup yang baik untuk negara dan berjuang untuk menaikkan Islam.
Malah, kerajaan British telah menjemput Hassan al Banna ke kedutaan mereka untuk minum teh. Beliau dipuji kerana perwatakannya yang baik, kerja-kerja kebajikannya untuk membantu anak-anak yatim dan janda. Malah pegawai atasan British menjelaskan bahawa dunia sangat fragile dan Mesir perlu dibangunkan sebagai negara yang moden dan makmur.

Pengharaman Ikhwan Muslimin dan Pembunuhan Hassan AI-Banna
Pengaruh Ikhwan Muslimin yang kuat amat dikhuatiri oleh Kerajaan Mesir di bawah Noqrashi Pasha dari Parti al-Safdi. Pada 8 November 1948 Beliau telah mengharamkan Ikhwan Muslimin atas tuduhan merancang satu pemberontakan untuk menjatuhkan kerajaan. Sumbangan Ikhwan Muslimin menghantar beribu ribu orang pejuang dalam perang menghadapi Israel seolah olah dinafikan. Kesemua cawangannya yang berjumlah lebih 3000 diarahkan supaya dibubarkan. Sekiranya masih beroperasi, mereka akan dikira sebagai pertubuhan haram, pelampau dan pengganas. Unit-unit tentera Mesir dan tentera Ikhwan Muslimin yang berjuang di Palestine dipanggil balik. Berbagai-bagai tuduhan dan fitnah dilemparkan terhadap Ikhwan Muslimin. Anggota-anggotanya ditangkap, dimasukkan ke dalam penjara, di seksa dengan teruk, malah ada yang dibunuh.

Apabila seorang wartawan bertanyakan Hassan al-Banna tentang pengharaman itu, beliau menjawab, apabila kata-kata diharamkan, maka tanganlah yang akan menggerakkannya. Begitu mendalam kata katanya.
Tidak lama kemudian Perdana Menteri Mesir telah dibunuh dan Gerakan Ikhwan telah dipersalahkan atas kejadian itu. Pada bulan yang berikutnya harta benda pergerakan itu telah dirampas dan beribu ribu orang beliau telah disumbatkan ke dalam penjara.
Dengan alasan untuk mengendurkan (mengurangkan) ketegangan (konflik) antara Ikhwan Muslimin dan kerajaan, pihak kerajaan menjemput Hassan al-Banna untuk berunding bertempat di Pejabat Jam'iyyah al-Syubban al Muslimin. Sebenarnya jernputan itu hanyalah sebagai helah untuk membunuh beliau.

Pada 12 Februari 1949 jam 5 petang, Hasan al Banna bersama iparnya Abdul Karim Mansur, seorang peguam, suami kepada adik perempuannya berada di pejabat tersebut. Mereka menunggu Menteri Zaki Ali Basya yang dikatakan mewakili kerajaan untuk berunding, tetapi malangnya Zaki Ali Basya tidak kunjung tiba.
Akhirnya setelah selesai menunaikan solat Isyak mereka memanggil teksi untuk pulang. Ketika baru sahaja menaiki teksi yang dipanggil, dua orang yang tidak dikenali menerpa ke arah teksi dan salah seorang daripada mereka terus melepaskan tembakan pistol. Mereka berdua terkena ternbakan itu. Iparnya itu tidak dapat bergerak akibat terkena tembakan tersebut. Walaupun terkena tujuh tembakan, Hasan al-Banna masih mampu berjalan masuk semula ke pejabat Jam'iyyah al Syubban al-Muslimin memanggil ambulans untuk membawa mereka ke hospital.
Setibanya di hospital Qasral 'Aini, mereka dikawal rapi oleh Jeneral Muhammad al-Jazzar dan tidak membenarkan sebarang rawatan diberikan kepada Hasan al Banna. Pada pukul 12.50 tengah malam, Hasan al-Banna menghembuskan nafas yang terakhir akibat tumpahan darah yang banyak.


Pengurusan Jenazah
Pada pukul satu pagi pihak polis menyampaikan berita kematian kepada ayah Hasan al-Banna dengan dua pilihan: Pihak polis akan menghantarkan jenazah ke rumahnya untuk beliau menjalankan urusan pengebumian pada jam sembilan pagi tanpa sebarang perhimpunan, jika tidak menerima tawaran pertama itu, pihak polis sendiri terpaksa membawa jenazah dari hospital ke kubur tanpa beliau melihat jenazah anaknya itu.

Ayah Hasan al Banna menerima pilihan yang pertama. Sebelum fajar menyingsing, jenazah as-Syahid dibawa ke rumahnya di Hilmiah al-Jadid dengan sebuah kereta yang dikawal rapi oleh polis yang lengkap bersenjata. Di sekitar rumahnya juga terdapat polis dan tentera berkawal dengan rapi. Mereka tidak membenarkan sesiapa pun menghampiri kawasan tersebut. Jenazah Almarhum dibawa masuk ke rumahnya secara tidak ada orang yang melihatnya dan tidak ada yang mengetahui masa ketibaannya.
Sheikh Ahmad Abdur Rahman, ayah Hasan al-Banna yang sudah berusia lebih 90 tahun itu dengan penuh kesabaran memandikan dan mengapankan jenazah anaknya yang baru berusia 43 tahun itu seorang diri. Setelah diletakkan ke atas pengusung, beliau memohon pihak polis mencari beberapa orang untuk mengusungnya. Tetapi pihak polis ruenjawab, biarkanlah orang-orang perempuan tolong mengusungnya.

Polis tidak membenarkan sesiapa datang ke rumah tersebut untuk mengucapkan takziah dan tidak dibenarkan membaca al-Quran. Ayah Hasan al-Banna tidak dapat berbuat apa apa lagi. Beliau dengan tiga orang perempuan terpaksa mengusung anaknya itu menuju ke Masjid al-Qaisun untuk disembahyangkan. Pihak polis lebih dahulu telah pergi ke masjid memerintah orang-orang yang ada di situ supaya meninggalkan masjid. Sheikh Abdur Rahman seorang diri menunaikan solat jenazah ke atas anaknya itu. Kemudian mereka meneruskan pengusungannya menuju ke perkuburan untuk disemadikan jenazah Almarhum.
Pada waktu itu usia Hassan Al-Banna baru mencecah 43 tahun. Anak bongsunya telah dilahirkan pada hari yang sama isteri Hassan Al-Barma menamakannya "Esteshhaad" yang bermaksud syahid.

Pembunuhan Hassan al-Banna adalah satu perancangan pihak istana dengan arahan Raja Farouk dan Perdana Menterinya Ibrahim Abdul Hadi. Sebab itulah tidak ada sebarang tindakan ke atas penjenayah dan orang yang terlibat. Kes pembunuhan ini walaupun telah dibawa ke mahkamah beberapa kali, tetapi telah ditangguhkan. Pertama kali dibawa pada masa pernerintahan Perdana Menteri Ibrahim Abdul Hadi. Kedua, pada masa pernerintahan Perdana Menteri Husin Sari. Ketiga, pada zaman pernerintahan Perdana Menteri Mustafa al Nahhas Basya.

Pada 23 Julai 1952 satu revolusi telah tercetus. Raja Farouk terpaksa turun dari singgahsananya. Berikutan itu, kes ini dibuka semula. Penjenayah ditangkap dan pada 2 Ogos 1954, Koperal Ahmad Husin Jad dikenakan hukuman penjara seumur hidup dengan kerja berat.
Pemandu kereta, Sarjan Major Muhammad Mahfuz Muhammad dikenakan hukuman penjara 15 tahun dengan kerja berat. Major Muhammad al Jazzar dikenakan hukuman satu tahun penjara dengan kerja berat.
Sejak pembunuhan terhadap Hassan al Banna, ramai pendukung Ikhwan Muslimin yang telah ditindas dan dizalimi. Namun tindakan tindakan tersebut menyebabkan pertubuhan itu bukan sahaja semakin bertambah kuat di Mesir, malah telah mengembangkan sayapnya di negara-negara Arab.

Kebangkitan Islam yang berlaku di negara Arab pada hari ini sebenarnya secara tidak langsung bertitik tolak dari Gerakan Ikhwan Muslimin,
Tegasnya, Hasan al-Banna merupakan seorang pejuang yang gigih dan berani, berjaya menyedarkan masyarakat dengan fikrah dan pendekatan barunya dalam gerakan dakwah dan manhaj tarbiahnya yang syumul. Walaupun beliau telah pergi menemui Ilahi, namun fikiran dan gerak kerjanya masih menjadi rujukan dan pegangan pejuang pejuang dan harakah Islamiah pada hari ini.

<span>sumber:</span>http://www.iluvislam.com/v1/readarticle.php?article_id=1006



Subhanallah.hebatnya Hassan Al-Banna.sekalipun pahit ujian yg dilaluinya sewaktu hidup di dunia tetapi roh jihad dan semangat dakwahnya tidak pernah pudar.pasti di sana beliau bahagia dengan nikmat yg dikurniakan Allah padanya.
5 prinsip hidup Hassan Al-Banna utk dijadikan panduan buat kita :-
1)Allah ghayatuna..
2)Ar-Rasul qudwatuna..
3)Al-Quran dusturuna..
4)Al-Jihadu sabiiluna..
5) Al-Mautu fii sabilillah.. Asma amaanina..

Allah adalah tujuan kami,,Rasulullah teladan kami,,Al Quran pedoman hidup kami,,Jihad adalah jalan juang kami,,Mati di jalan Allah adalah cita-cita kami tertinggi~!!!
http://www.youtube.com/watch?v=t4F-YVRC_d4
(lirik lagu bingkai kehidupan oleh shoutul harokah yg diselitkan 5 prinsip hidup Hassan Al-Banna)
~renungan buat diri sendiri & saudara2 Islam sekalian~

Saturday, 1 January 2011

Alfarabi, Komposer Besar Muslim

By Sejarah Perkembangan Islam

Saturday, 17 July 2010 at 04:24

Selama ini kita hanya tahu kalau jagoan musik itu orang-orang seperti Mozart, Bach, atau komposer-komporser barat lainnya. Padahal jauh sebelumnya, dunia Islam sudah melahirkan seorang ahli genius: Al Farabi!

Nama sebenarnya Abu Nasr Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Tarkhan Ibnu Uzlaq Al Farabi.

Beliau lahir pada tahun 874M (260H) di Transoxia yang terletak dalam Wilayah Wasij di Turki. Bapaknya merupakan seorang anggota tentara yang miskin tetapi semua itu tidak menghalanginya untuk menimba ilmu di Baghdad.

Kenapa di Baghdad?

ini karena pada zaman itu semua ilmu memang berkumpul di Syria atau Irak. Setelah beberapa waktu lamanya tinggal di Irak, Al Farabi memutuskan hijrah ke Damsyik, sebelum meneruskan perjalanannya ke Halab. Semasa di sana, beliau berkhidmat di istana Saif al-Daulah dengan gaji empat dirham sehari.

Hal ini menyebabkan dia hidup dalam keadaan yang serba kekurangan.

Walaupun Al-Farabi merupakan seorang yang zuhud, tetapi beliau bukan seorang ahli sufi.

Beliau merupakan seorang ilmuwan yang cukup terkenal pada zamannya.

Dia berkemampuan menguasai pelbagai bahasa. Bicara soal keahliannya yang utama apalagi kalo bukan dalam soal musik. Lagu yang dihasilkannya meninggalkan kesan secara langsung kepada pendengarnya. Selain mempunyai kemampuan untuk bermain musik, beliau juga telah mencipta satu kesenian yang kelak jadi identitas orang Arab. Apalagi kalo bukan musik gambus.

Tapi kemampuan Al-Farabi bukan sekadar itu. Beliau juga memiliki ilmu pengetahuan yang mendalam dalam bidang kedokteran, sains, matematika, dan sejarah. Satu lagi keterampilannya sebagai seorang ilmuwan yang terulung dalam bidang falsafah.

Bahkan kehebatannya dalam bidang ini mengatasi ahli falsafah Islam yang lain seperti Al-Kindi dan Ibnu Rusyd.

Di bidang musik, sumbangan terbesarnya dalam sejarah adalah sebuah buku yang berisi tentang pengajaran dan teori musik Islam: Al-Musiqa. Asal tahu saja, buku ini sampai sekarang masih dianggap jadi buku musik yang terpenting dalam bidang musik di seluruh dunia.

Soalnya, Al-Farabi konon yang pertama meletakan dasar- dasar tentang not balok dan segala sesuatu yang berhubungan dengan musik-musik modern zaman sekarang.

Sebagai seorang ilmuwan yang tulen, Al-Farabi turut memperlihatkan kecenderungannya menghasilkan beberapa kajian dalam bidang kedokteran. Walaupun kajiannya dalam bidang ini tidak menjadikannya masyhur tetapi pandangannya sudah memberikan sumbangan yang cukup bermakna terhadap perkembangan ilmu kedokteran di zamannya.

Al-Farabi terdidik dengan sifat qanaah (sederhana). Sifat itu menjadikan beliau seorang yang amat sederhana, tidak gila akan harta dan tidak cinta dunia.

Beliau lebih menumpukan perhatian untuk mencari ilmu daripada mendapatkan kekayaan duniawi. Sebab itulah Al-Farabi hidup dalam keadaan yang miskin sehingga beliau menghembuskan nafas yang terakhir pada tahun 950M (339H).

(fakta diambil dari berbagai sumber)