Pages

Thursday 10 March 2011

SEBARKAN = Kepemimpinan Wanita dalam Pemerintahan Perspektif Islam (Tangggapan atas Tulisan Dr. Nurjannah Ismail, MA)


by Komunitas Rindu Syariah & Khilafah on Sunday, 24 October 2010 at 20:43
Kepemimpinan Wanita dalam Pemerintahan Perspektif Islam (Tangggapan atas Tulisan Dr. Nurjannah Ismail, MA)

Oleh: Dra. Rahma Qomariyah, M.Pd.I

(Oleh: Aktivis Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia, Dosen Universitas Ibn Khaldun, dan Kandidat Doktor Pendidikan & Pemikiran Islam)

Dalam tulisan saudara Nurjannah disebutkan bahwa wanita boleh memimpin Pemerintahan berdasarkan dalil ratu Balqis sebagai pemimpin kerajaannya. Padahal bolehnya Ratu Balqis memimpin negeri Saba’ tidak bisa kita jadikan sebagai dalil, karena penetapan hukum tersebut berdasarkan dalil Syar’u man qoblana  syar’ullana (syariat umat terdahulu -umat sebelum Nabi muhammad Saw adalah syariat bagi kita-umat Muhammad Saw). Dalil ini  tidak bisa dipakai sebagai dalil dalam penetapan hukum syara’, karena merupakan syariat sebelum nabi Muhammad Saw. Hal ini sebagaimana syariat nabi yang lain sudah tidak berlaku bagi umat Muhammad Saw, misalnya haramnya lemak sapi dan kambing bagi umat nabi Musa (orang Yahudi), tapi bagi umat Muhammammad (orang Islam) hukumnya mubah[1]. Sebagaimana firman Allah dalam surat al An-am[6] ayat 145-146

قُل لَّا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّـهِ بِهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ﴿١٤٥﴾ وَعَلَى الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا كُلَّ ذِي ظُفُرٍ ۖ وَمِنَ الْبَقَرِ وَالْغَنَمِ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ شُحُومَهُمَا إِلَّا مَا حَمَلَتْ ظُهُورُهُمَا أَوِ الْحَوَايَا أَوْ مَا اخْتَلَطَ بِعَظْمٍ ۚ ذَٰلِكَ جَزَيْنَاهُم بِبَغْيِهِمْ ۖ وَإِنَّا لَصَادِقُونَ ﴿١٤٦﴾

145.  Katakanlah: “Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - Karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha penyayang”.

146.  Dan kepada orang-orang Yahudi, kami haramkan segala binatang yang berkuku dan dari sapi dan domba, kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan mereka; dan Sesungguhnya kami adalah Maha benar.
Dengan demikian dalil yang tepat adalah Syar’u man qoblana laisa syar’allana. syariat umat terdahulu (umat sebelum Nabi muhammad Saw) bukan termasuk syariat bagi kita[2]. 

Penetapan dalil Syar’u man qoblana laisa syar’allana, karena syariat /kitab-kitab  sebelum kita itu telah terhapus (nasikhan lima sabaqohu) sebagai  ma’na   ومهيمنا عليه . Firman Allah surat al-Maidah ayat 48

وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ ۖ فَاحْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللَّـهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ ۚ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ

شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
Artinya: Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu[422][3], kami berikan aturan dan jalan yang terang.

Keharaman itu meliputi kepemimpinan yang mengandung kekuasaan pemerintahan (Wilayatul Hukmi-Hukkam)[4]. Karena posisi hukkam tidak diperbolehkan bagi wanita sebagaimana sabda Rasulullah Saw:


عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالََ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ فَارِسًا مَلَّكُوا ابْنَةَ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً[5]

Artinya: Dari Abi Bakrah berkata bahwa Nabi Saw bersabda tentang negeri Persia yang dipimpin oleh putri Kisra, beliau bersabda: “Tidak beruntung suatu kaum yang urusannya diserahkan kepada wanita”(HR. Bukhari)

Adanya “dzam”(celaan ) berupa “lan yufliha”(tidak beruntung) sebagai qorinah bahwa tholabu at tarki jaaziman/ tuntuntan meninggalkan  dalam hadis tersebut bersifat pasti. Dengan demikian haram bagi wanita menjabat sebagai hukkam antara lain: Khalifah (Kepala Negara), Muawin (Pembantu Khalifah), Wali (gubernur), Qodhi quhhat( Pemimpim para Qodzi), Qodzi Madzalim (Qadzi yang mempunyai kewajiban menghilangkan kedzoliman termasuk memecat Khalifah jika melakukan kedzaliman kepada rakyat atau menyalahi Al-Qur’an dan Hadis)[6].
Adapun jabatan-jabatan pemerintahan yang tidak termasuk wilayatul amri/ wilayatul hukm diperbolehkan bagi wanita antara lain sebagai kepala Baitul Mal, anggota Majlis Wilayah, anggota Majlis Ummah, Qahzi khushumat (Qadhi yang menyelesaikan perselisihan antar rakyat), Qadzi hisbah (qadhi yang langsung menyelesaikan pengurangan atas hak-hak rakyat)[7]

Dan diperbolehkan juga bagi wanita sebagai kepala Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan, Departemen Perindustrian, Departemen

Perdagangan , Rektor Perguruan Tinggi, Kepala Rumah Sakit dan lain-lain[8].


Kritik terhadap Tafsir Kontekstual

Untuk menafsirkan Al-Qur’an membutuhkan ilmu tafsir atau metode penafsiran Al-Qur’an. Karena Ilmu tafsir merupakan tsaqofah (salah satu cabang ilmu -ilmu Islam), maka  harus bersumber dari akidah Islam. Artinya harus sesuai dengan  Al-Qur’an dan Hadits. Dari sini sumber tafsir yang diperbolehkan hanya dua yaitu: tafsir bi ar ra’yi adalah tafsir yang disusun berdasarkan kebahasaan atau dirayah[9]. Dan tafsir bi al ma’tsur atau manqul yaitu penafsiran al-qur’an dengan Al Qur’an, sabda Rasulullah, perkataan Sahabat dan Tabi’in[10].

Dan  yang dimaksud Tafsir bi ar Ra’yi, bukan berarti menafsirkan Al Qur’an sesuai dengan pendapatnya Mufassir, akan tetapi yang yang dimaksud Tafsir bi ar Ra’yi adalah Ijtihad berdasarkan ushul yang shaheh, kaidah-kaidah yang selamat, wajib mengambil mutiara-mutiara yang dimaksud di dalam Tafsir Al Qur’an, atau maksud dari penjelasan makna-makna. Jadi bukan menafsirkan Al Qur’an berdasarkan pendapatnya semata atau hawa nafsunya semata[11].Bahkan banyak sekali hadits yang mengingatkan bahwa kita tidak boleh main-main dengan penafsiran Al Qur’an. Sekalipun penafsiran yang muncul pendapat itu ternyata benar[12], maka ini tetap dinilai sebagai suatu kesalahan. Rasulullah Saw bersabda:

من قال فى القران براء يه فاصاب فقد اخطاء
Barang siapa yang berbicara mengenai Al Qur’an sesuai dengan pendapatnya sendiri, dan benar, maka sungguh dia berbuat salah. (HR Abu Dawud)

Dan ancaman bagi orang-orang yang menafsirkan Al Qur’an dengan pendapatnya sendiri adalah neraka. Sabda Rasulullah Saw:

ومن قال بالقران براء يه فليتبواء مقعده من النار
Barang siapa yang berbicara mengenai Al Qur’an sesuai dengan pendapatnya sendiri, maka hendaklah bersiap-siap mengambil tempatnya di neraka.

Dengan demikian tidak benar penafsiran yang dilakukan oleh para feminis dan liberal. Ayat-ayat yang telah ditafsirkan oleh para mufassir dengan kaidah penfsiran yang benar, akan tetapi oleh para feminis dan liberal dinilai sebagai penafsiran yang bias gender karena menafsirkan tektual ayat, bukan penafsiran secara kontekstual.Misalnya: surat an nisa’ ayat 34:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّـهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ

Untuk menentukan apakah penafsiran ayat tersebut secara tektual atau kontektual, bukan semaunya penafsir. Akan tetapi kembali kepada kaidah penafsiran. Misalnya secara jelas ayat tersebut menyebutkan arrijal itu bermakna laki-laki, bukan maskulinitas, karena secara bahasa tidak bisa ditafsirkan yang lain, karena arrijalu itu jama’ dari arrajulu yang berma’na laki-laki. Sedang sifat kelelakian (maskulinitas), itu bahasa Arabnya arrajulatu. Sebenarnya para feminis dan liberal ingin menafsirkan secara kontekstual ayat tersebut, hanya menginginkan agar bisa ditafsirkan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama bisa menjadi pemimpin rumah tangga, tidak ada dorongan sedikitpun agar sesuai dengan maksud Al Qur’an dan Hadits. Nash-nash Al Qur’an dan Hadits hanyalah dipakai stempel hawa nafsu mereka. Dan sebenarnya ayat tersebut harus ditafsirkan secara tekstual, karena dari teks nya sudah sangat gamplang ma’nanya. Disamping itu banyak hadits yang menunjukkan kepemimpinan dalam rumah tangga, dan kepemimpinan dalam pemerintahan dan mengandung kekuasaan/hukkam wajib pada laki-laki, dan haram bagi wanita.




[1] Hafidz Abdurrahman, Ushul Fiqih - Membangun Paradigma Berfikir Tasyri’i, Bogor, Al Azhar Press, 2003, hlm. 119-120
[2] A’tho’ bin Khalil, Kajian Ushul Fikih Mudah dan Praktis-(edisi Indonesia), Bogor, Pustaka Thariqu Izzah, 2003,  hlm.148-149.
[3] Maksudnya: umat nabi Muhammad s.a.w. dan umat-umat yang sebelumnya.
[4] Taqiyuddin An Nabhani, Ajhiza Daulah Islamiyah, Beirut, Libanon, Darul Ummah, 2005, hlm. 23,
[5] Hadis shaheh, diriwayatkan oleh Bukhari, hadis no 6570
[6] Ibid, hlm.59 dan 113
[7] Ibid, hlm. 134, 119 dan 153
[8] Ibid, hlm. 134
[9] bi ar ra’yi: dengan pendapat yang berdasarkan pada Al Qur’an dan Hadis
[10] Hafidz Abdurrahman, Ulumul Qur’an- Metode Memahami Al Qur’an Praktis, Bogor, Idea Pustaka Utama, 2004, hlm 207-208
[11] Syekh Muhammad Ali ash Shabuni, At Tibyan fi Ulum Al Qur’an, Jakarta, Daru al Kutub al Islamiyah, hlm.155
[12] Ibid, hlm. 156


Link: http://hizbut-tahrir.or.id/2010/10/20/kepemimpinan-wanita-dalam-pemerintahan-perspektif-islam-tangggapan-atas-tulisan-dr-nurjannah-ismail-ma/

No comments:

Post a Comment