Pages

Thursday 13 October 2011

ZIONISME Gerakan Menaklukkan Dunia (3 -5)


ZIONISME Gerakan Menaklukkan Dunia (3)

by Paul Bee Godhick on Saturday, 14 August 2010 at 01:04
oleh : ZA. Maulani

BAB-1 : YAHUDI, ZIONISME DAN ISRAEL

KITA HARUS MEMAKSA PEMERINTAHAN "NON-YAHUDI" UNTUK MENERIMA LANGKAH-LANGKAH YANG AKAN MENINGKATKAN SECARA LUAS RENCANA YANG TELAH KITA BUAT YANG TELAH KIAN DEKAT DENGAN TUJUANNYA DENGAN CARA MELETAKKAN TEKANAN PADA PENDAPAT UMUM YANG TELAH KITA AGENDAKAN YANG HARUS DIDORONG OLEH KITA DENGAN BANTUAN APA YANG DINAMAKAN "KEKUATAN BESAR" PERS. DENGAN SEDIKIT PERKECUALIAN, TAK PERLU DIPIKIRKAN, KEKUATAN ITU TELAH BERADA DALAM GENGGAMAN KITA ("Protokol Zionis yang Ketujuh").
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Program Pengusiran Penduduk Arab Palestina

Penduduk Arab-Palestina masih merupakan mayoritas sampai dengan terbentuknya Israel sebagai sebuah negara Yahudi pada bulan Mei 1948. Negara Israel yang dicita-citakan oleh Theodore Herzl hanya akan dapat terwujud dengan cara menghapus hak-hak kaum mayoritas, yaitu penduduk Arab-Palestina, atau mengubahnya membuat kaum Yahudi Kongres Zionist pertama di Bazel, 1897 menjadi mayoritas melalui imigrasi, atau mengurangi jumlah penduduk Arab di Palestina melalui cara pembersihan etnik. Tidak ada cara lain, dan tidak mungkin membentuk sebuah negara Yahudi, kecuali dengan cara di luar prosedur demokratik tadi.

Pengusiran penduduk Arab-Palestina merupakan keharusan yangmengalir dari logika Zionisme sebagaimana dengan sangat jelasdikatakan oleh Theodore Herzl sejak 12 Juni 1895. Pada waktu itu iabaru merumuskan gagasannya tentang Zionisme dan menuliskannya dalam buku hariannya, "Kami harus mencoba mengeluarkan kaum tidak berduit (baca: Palestina) dari perbatasan dengan cara menyediakan pekerjaan di negara-negara tetangga, dan bersamaan dengan itu, mencegah mereka memperoleh lapangan kerja di negeri kami. Kedua proses, baik penghapusan kepemilikan dan pemindahan kaum miskinitu, harus dikerjakan dengan kehati-hatian dan kewaspadaan". Pemikiran ini dibenarkan oleh sebagian besar pendukung Zionisme sejak awal, sebagaimana dibuktikan oleh fakta bahwa thema tentang pengusiran secara konsisten terus menjadi pemikiran kaum Zionis. Jadi sejak awal impian kaum Zionis mendirikan negara Yahudi mengacu kepada dua sasaran yang bersifat komplementer dan sekaligus mutlak, yaitu: (1) mendapatkan sebuah tanah air, dan (2) menggantikan penduduk mayoritas Arab-Palestina baik dengan cara tidak mengakui hak-hak mereka, mengatasi jumlah mereka, atau mengusir mereka dengan cara apa pun. Meskipun Theodore Herzl dan kaum Zionis lainnya menjanjikan bahwa orang Yahudi dan Arab-Palestina akan hidup berdampingan secara damai dan bahagia, namun tidak ada jalan lainyang terbuka untuk mendirikan negara Yahudi di Palestina sebagaimana yang didambakan oleh kaum Zionis kecuali dengan cara-cara tersebutdi atas.

Kaum pendahulu Zionis menempuh beberapa strategi untuk mencapai tujuan mereka. Pertama, melalui imigrasi orang Yahudi; pada saat awalitu banyak kaum Zionis dan para pendukungnya yang sungguh-sungguh percaya bahwa imigrasi orang Yahudi dalam jumlah besar akan dapat dalam waktu singkat memecahkan "masalah Palestina" dengan membangun masyarakat Yahudi sebagai mayoritas. Kedua, yang lain meyakini, bilamana sejumlah petani dan buruh Arab-Palestina ditutup kesempatan kerjanya, maka hasilnya akan memaksa orang Arab-Palestina bermigrasi meninggalkan Palestina. Ketiga, dalam kenyataannya, kedua rencana di atas itu kurang begitu diketahui, karena rencana ini lebih banyak diperbincangkan di koridor-koridor kekuasaan di Berlin, London, dan Washington, dalam rangka mendapatkan tajaan('sponsorship') dunia internasional, sekaligus untuk mendapatkan legitimasi terhadap klaim kaum Yahudi sebagai imbangan terhadap hak-hak kaum mayoritas penduduk Arab-Palestina.

Kaum Zionis mengembangkan strategi ini secara serentak. Ada yang berhasil dan ada pula yang kurang berhasil. Namun pada akhirnya opsi yang terbuka tinggal pengusiran secara paksa sebagai cara untuk dapat mendirikan negara Yahudi yang mereka impikan.

Sementara itu berkembang strategi baru Zionisme, yaitu mendelegitimasi-kan masyarakat Arab-Palestina, sambil berusaha melegitimasi-kan kehadiran orang Yahudi. Sejak awal Theodore Herzl sangat sadar bahwa komunitas Zionis membutuhkan suatu major power sebagai penaja. Usaha pertamanya ditujukan kepada Sultan Abdul Hamid II, suatu pilihan yang masuk akal, mengingat kesultanan Usmaniyah memegang kuasa mutlak atas Palestina. Bahkan sebelum secara resmi mendirikan Zionisme pada tahun 1897, Theodore Herzl pernah berkunjung ke Istambul pada tahun 1896 untuk memohon hibah tanah di Palestina dari Sultan dengan imbalan akan memberikan"bantuan keuangan untuk memulihkan kas kesultanan yang sedang kosong melalui jasa para finansier Yahudi". Lebih penting lagi, ialahusulnya yang ditulis sekembalinya dari kunjungan itu, memohon kepada sultan hak kaum Yahudi mendeportasikan penduduk aseli.

Sultan sangat tersinggung dan menolak permohonan itu, dan mengirimkan pesan yang menasehati Theodore Herzl, 'Jangan lagi membicarakan soal ini. Saya tidak dapat menyisihkan sejengkal tanahpun, karena tanah itu bukan milik saya, tetapi milik rakyat. Rakyat saya berjuang untuk mendapatkan tanah itu dan menyuburkannya dengan darah mereka. Biarkanlah orang Yahudi menyimpan duit mereka yang berjuta-juta banyaknya di peti mereka".

Gerakan Zionisme Internasional

Karena kebuntuan itu, pada tanggal 29 – 31 Agustus 1897 di Bazel, Switzerland, dilangsungkan Konperensi Zionisme Internasional ke-1, dihadiri oleh 204 orang tokoh-tokoh Yahudi dari 15 negara. Para peserta konvensi sepakat bahwa "Zionisme bertujuan untuk membangun sebuah Tanah Air bagi kaum Yahudi di Palestina yang dilindungi oleh undang-undang", dan untuk tujuan itu, mereka akan mendorong emigrasi ke Palestina. Mereka juga membahas prospek dan langkah-langkah politik dan ekonomi untuk pembentukan negara Yahudi di Palestina. Ketika kongres itu berakhir setelah berlangsung selama tiga hari, Theodore Herzl menorehkan di dalam buku hariannya, "Kalau saya harus menyimpulkan apa hasil dari kongres Bazel itu dalam satu kalimat singkat – yang tidak berani saya utarakan kepada publik – saya akan berkata : 'Di Bazel saya menciptakan negara Yahudi!' ".

Penggusuran Penduduk Arab-Palestina

Langkah-langkah yang akan ditempuh adalah pertama-tama pembelian tanah untuk para migran Yahudi, kemudian membuat orang Arab-Palestina tidak betah tinggal di Palestina, dan yang terakhir mengusir penduduk Arab-Palestina melalui terorisme. Untuk mendukung gagasan program migrasi orang Yahudi ke Palestina dan menyediakan tanah bagi mereka, maka dibentuklah beberapa lembaga keuangan, seperti: the Jewish Colonial Trust, the Anglo-Palestine Company, the Anglo-Palestine Bank, dan the Jewish National Fund.

Ketika Kongres Bazel pada 1897 itu berlangsung bangsa Arab-Palestina mencapai angka 95%, dan mereka menguasai 99% dari tanah Palestina. Jadi jelas sejak awal Zionisme bertujuan untuk menghapuskan kepemilikan dari tangan mayoritas Arab-Palestina, baik secara politik maupun fisik, merupakan suatu persyaratan yang tak dapat dihindari untuk dapat membentuk sebuah negara Yahudi. Dalam tujuan itu tidak hanya terbatas pada tanah, tetapi tanah tanpa penduduk lain ditengah-tengah mayoritas penduduk Yahudi.

Setelah kegagalannya dengan Sultan Abdul Hamid II, setahun setelah Kongres Zionisme Internasional ke-1 di Bazel, pada tahun 1898, Theodore Herzl mengalihkan perhatiannya kepada Jerman dan Kaizer Wilhelm II yang memiliki ambisi ke Timur Tengah. Theodore Herzl secara ketus memberi-tahukan orang Jerman, "Kami membutuhkan sebuah protektorat, dan Jerman kami anggap paling cocok bagi kami." Ia mengemukakan bahwa para pemimpin Zionisme adalah orang-orang Yahudi yang berbahasa Jerman. Jadi sebuah negara Yahudi di Palestina akan memperkenalkan budaya Jerman ke wilayah tersebut. Namun Kaizer menolak usul Theodore Herzl, sebab utamanya, ia tidak ingin menyinggung perasaan kesultanan Usmaniyah, yang merupakan langganan utama produk persenjataan Jerman, atau membuat murka kaum Kristen di dalam negeri.

Sementara itu pada tahun 1899 walikota Jerusalem Youssuf Zia Khalidi, seorang cendekiawan Palestina dan anggota parlemen Usmaniyah, menulis sepucuk surat yang diteruskan kepada Theodore Herzl, memperingatkan klaim Zionis terhadap Palestina. Bangsa Arab-Palestina secara khusus menentang tuntutan Zionisme yang didasarkan pada dalih bahwa orang Yahudi mempunyai hak atas Palestina hanya karena mereka pernah hidup dua millenia yang silam. Khalidi mencatat bahwa klaim kaum Zionis atas Palestina tidak dapat dilaksanakan mengingat tanah Palestina telah berada di bawah kekuasaan Islam selama tiga-belas abad terakhir dan bahwa orang muslim dan Kristen memiliki kepentingan yang sama mengingat tempat-tempat suci yangada. Lagipula ia menambahkan, penduduk mayoritas Arab-Palestina menentang penguasaan kaum Yahudi. Ketika Istambul memutuskan pada tahun 1901 untuk memberikan penduduk asing, yang pada intinya bermakna imigran baru Yahudi, hak yang sama untuk membeli tanah, sekelompok tokoh-tokoh terkemuka Arab-Palestina mengirim sebuah petisi ke ibukota Utsmaniyah memprotes kebijakan itu.

Di pihak Theodore Herzl tanpa mengenal putus-asa ia memalingkan mukanya ke Inggeris. Itu dilakukannya pada tahun 1902. Disini ia menemukan lahan yang subur. Ada tradisi di kalangan Kristen Protestan dan para penulis Inggeris sepanjang dua abad sebelumnya untuk mendukung "kembalinya orang Yahudi ke Palestina", tradisi yang juga bergerak ke Amerika Serikat. Lagi pula kepentingan Inggeris tentang keamanan Terusan Suez sebagai urat-nadi ke jajahan-jajahannya di TimurJauh telah menggiringnya untuk merebut Mesir pada tahun 1882, dan pengamanan Terusan Suez tetap merupakan fokus kepentingan London di wilayah tersebut. Mempunyai penduduk yang bersahabat di wilayah itu akan memberikan keuntungan yang tak terperikan bagi Inggeris.

Sebagaimana Jerman, Inggeris pun merasa tidak memiliki kepentingan berhadapan dengan Sultan, membuka dukungan Inggeris terhadap Palestina bukan hal yang menarik bagi Inggeris. Lalu Theodore Herzl meminta membuka hubungan dengan teritori Inggeris yang terdekat: Siprus, El Arish, atau Semenanjung Sinai. Menteri daerah jajahan Joseph Chamberlain mencoret Siprus, karena kehadiran Yahudi akan menimbulkan murka penduduk Yunani dan Turki, dan Mesir tidak disetujui, karena gubernur Inggeris setempat menentang memberikan tanah sejengkal pun dari wilayah Mesir. Lalu Chamberlain menyarankan sebuah teritori sebagai kompromi, kira-kira seluas Palestina di daerah Afrika Timur milik Inggeris. Meskipun pada waktu itu daerah itu dinamakan Uganda, wilayahnya kini kira-kira ada di Kenya.

Theodore Herzl bersuka-cita dengan tawaran itu. Menurut Herzl kalaubukan menjadi pengganti bagi Palestina, paling tidak berperan sebagai batu-loncatan. Tetapi saran itu berhadapan dengan badai protes dari kaum Zionis, terutama datang dari Rusia dan juga dari daerah-daerah jajahan Inggeris. Pada awal 1904 baik Theodore Herzl maupun Joseph Chamberlain dengan senang-hati bersepakat melupakan pikiran itu.

Pengalaman itu sangat menguntungkan bagi Zionisme. Sebuah koneksi penting telah terjalin dengan pejabat-pejabat tinggi pemerintahan Inggeris, suatu hubungan yang diramalkan Theodore Herzl dengan tepat, bahwa pada suatu saat akhirnya kelak akan membawa hasil yang nyata. Sebelum meninggalnya pada tanggal 3 Juli 1904 Theodore Herzl berkata kepada seorang kawan, "Anda akan lihat waktunya akan tiba Inggeris akan melakukan apa saja yang ada dalam kekuasaannya untuk menyerahkan Palestina kepada kita untuk berdirinya suatu negaraYahudi". Sesudah ini ambisi kaum Zionis difokuskan semata-mata pada Palestina sebagai tempat bagi negara Yahudi yang diharapkan.

Masyarakat Palestina tidak banyak mengetahui langkah-langkah yang ditempuh Theodre Herzl selama itu. Hubungan antara orang Arab-Palestina dengan orang Yahudi secara umum tetap cukup bersahabat sampai dengan Revolusi Turki Muda pada 1908. Menurut sejarawan Neville J. Mandel, "Menjelang malam Revolusi Turki Muda ... sentimen anti-Zionisme pada masyarakat Arab belum nampak. Sebaliknya, memang ada keresahan berkenaan dengan makin meluasnya masyarakat Yahudi di Palestina, dan penentangan yang kian meluas terhadap hal itu". Sejarawan Israeli, Gershon Shafir, menambahkan, "Revolusi Turki Muda pada bulan Juli 1908 harus dipandang sebagai permulaan dari konflik Yahudi-Arab secara terbuka, demikian juga lahirnya gerakan nasionalisme Arab".

Sebagian besar ketidak-pedulian masyarakat Arab-Palestina sampai tahun 1908 disebabkan oleh kenyataan bahwa para perintis Zionis berhasil menekankan bahwa permintaan mereka hanya tanah dan hubungan persahabatan, sambil tetap menutup tujuan yang sesungguhnya – mengusir orang Arab-Palestina. Sesuai buku-buku Theodore Herzl tentang perlunya tindakan "kehati-hatian dan kewaspadaan", bahkan di saat senja kala kolonialisme, gagasan yang berisi niat mengusir penduduk aseli setempat untuk memberikan ruang bagi imigran asing dianggap berbau terlalu sinis, sehingga para perintis Zionisme berupaya menghindarinya demi pertimbangan politik, serta demi kebutuhan untuk memelihara hubungan baik sehari-hari dengan jiran mereka. Sehingga rencana untuk mengusir orang Arab-Palestina itu kemudian secara eufimistik di kalangan kaum Zionis dan dunia luar dikenal sebagai "masalah pengalihan". Kepada publik, kaum Zionis menekankan betapa manfaat yang akan didapat oleh masyarakat Arab-Palestina dan kesultanan Usmaniyah dengan kehadiran imigran Yahudi yang baru, yang akan membawa serta bersama mereka modal, ilmu pengetahuan, dan hubungan dengan jaringan internasional.

Pengusiran Orang Arab-Palestina

Pada tahun 1905 Israel Zangwill, seorang organisator Zionisme di Inggeris dan salah seorang propagandis Zionisme terkemuka yang menciptakan slogan, "sebuah tanah air tanpa rakyat untuk rakyat tanpa tanah air", mengakui di Manchester, bahwa Palestina bukanlah tanah tanpa rakyat. Sebenarnya tanah itu dihuni oleh bangsa Arab, "(Kami) menyiapkan diri, untuk mengusir dengan pedang kabilah-kabilah (Arab) itu sebagaimana yang dilakukan nenek-moyang kami, atau menghadapi hadirnya penduduk asing dalam jumlah besar, terutama kaum Mohammedan yang selama berabad-abad terbiasa menghinakan kami". Komentar ini disuarakan pada waktu dimana ada 645.000 jiwa orang muslim dan Kristen di Palestina, sementara hanya ada 55.000 jiwa orang Yahudi, sebagian besar non-Zionis atau anti-Zionis, yang tinggal terutama di kawasan Orthodoks Jerusalem dan kota-kota lainnya.

David Ben-Gurion, tokoh yang bersama Theodore Herzl dan Chaim Weizmann, menjadi salah seorang penggagas negara Israel, dengan gamblang menjelaskan hubungan antara Zionisme dengan pengusiran sebagai berikut, "Zionisme adalah pemindahan orang Yahudi. Pemindahan orang Arab jauh lebih mudah daripada cara-cara lainnya." Atau, sebagaimana ditandaskan cendekiawan Israeli, Benjamin Beit Hallahmi, "Kalau masalah dasar yang dihadapi oleh Yahudi Diaspora adalah bagaimana bertahan hidup sebagai kaum minoritas, maka masalah dasar Zionisme di Palestina adalah bagaimana melenyapkan penduduk aseli dan menjadikan kaum Yahudi sebagai mayoritas".

Pada tahun 1914 menjelang Perang Dunia ke-1 ada kira-kira 604.000 jiwa penduduk Arab-Palestina dan hanya ada 85.000 orang Yahudi di Palestina, suatu kenaikan kira-kira 30.000 orang Yahudi dalam jangka waktu satu dasawarsa. Meskipun kenaikan itu relatif rendah, namun bagi sebagian besar orang Arab-Palestina makin jelas bahwa Zionisme merupakan suatu ancaman permanen yang kian meningkat, betapa pun lambannya perkembangannya. Kesadaran yang mulai tumbuh ini meluas di kalangan keluarga Arab-Palestina terkemuka, kaum cendekiawan, dan para pengusahanya. Setelah mendengarkan klaim kaum Zionis dan para perintisnya selama dua dasawarsa, banyak kalangan terkemuka Arab-Palestina menjelang Perang Dunia ke-1 mulai mengakuinya, jika sekiranya berhasil mencapai tujuan-tujuannya, Zionisme artinya tidak lain adalah penghapusan banyak atau seluruh masyarakat Arab-Palestina, baik muslim maupun Kristen.

Desakan penggusuran orang Arab-Palestina oleh imigran Yahudi menghidupkan angin nasionalisme Arab yang mulai bertiup merambah ke segenap dunia Arab, kegiatan politik meningkat di Palestina selama tahun 1908 – 1914. Sejumlah surat kabar dan organisasi politik lokal yang memperjuangkan hak-hak rakyat Arab bermunculan di masyarakat Arab-Palestina. Terlepas dari program mereka yang beragam, hampir semua kelompok tersebut memiliki garis yang sama, yakni anti-Zionisme. Sebuah selebaran tanpa nama di Jerusalem pada tahun 1914 menulis, "Saudara-saudara! Apakah kalian bersedia menjadi budakdan hamba sahaya dari suatu kaum yang terkenal jahatnya di dunia dan dalam sejarah? Maukah kalian menjadi budak dari mereka yang datang menemui kalian hanya untuk mengusir dari negeri kalian, dengan mengklaim bahwa tanah ini milik mereka?"

Ketika Perang Dunia ke-1 pecah, seluruh argumen Arab masih terusbergaung hingga hari ini, permusuhan Arab-Yahudi telah menjadi masalah permanen yang di kemudian hari membuatnya menjadi konflik terbuka.

Di antara aktivis muda Arab-Palestina terdapat seorang anak-belasantahun, Muhammad Amin Husseini, putera dari suatu keluarga kaya yang selama berabad-abad telah memegang kontrol atas berbagai kedudukan penting di bidang agama dan politik. Pada usia 13 tahun, pada tahun1913, Amin Husseini telah memimpin sebuah perkumpulan yang tidak berusia panjang dan mulai menulis selebaran yang menyerang kaum imigran Yahudi. Sebagai seorang nasionalis Arab yang masih baru, ia di kemudian hari akan menjadi musuh terbesar kaum Yahudi. Padatahun 1921, ketika berusia 21 tahun ia terpilih sebagai mufti Jerusalem,suatu jabatan yang telah diduduki oleh leluhurnya, kecuali untuk beberapa interupsi, selama berabad-abad sejak abad ke-17, jabatan yang menempatkan Amin Husseini sebagai pemimpin Arab-Palestina. Sejak saat itu sampai dengan berdirinya negara Israel, Husseini menggunakan segenap kemampuan dan bakatnya untuk mencegah kaum Zionis mendirikan negara mereka.

Amin Husseini dan kaum terkemuka Arab-Palestina lainnya tidaklah polos. Mereka telah bergulat berabad-abad lamanya dengan kesultanan Usmaniyah dan fasih dengan intrik-intrik halus istana, maupun bahaya dan keuntungan hubungan komunitas yang kompleks antara muslim, Kristen, Yahudi, Druze, dan lain-lain, yang hidup berdampingan dengan masyarakat Arab-Palestina. Meskipun mereka memperhitungkan ancaman Zionisme dan kekuatan mereka sendiri pada Perang Duniake-1, termasuk hak-hak mereka sebagai kelompok mayoritas dan kelemahan klaim kaum Zionis atas Palestina yang hanya didasarkan pada alasan pernah menghuni Palestina 2000 tahun yang silam, namun mereka kurang memiliki pemahaman yang rumit tentang dunia Barat. Mereka tidak mampu bersaing dengan pengaruh Yahudi di Inggeris dan Amerika Serikat, dan mereka memandang enteng kecenderungan kesejarahan di Barat yang mendukung berdirinya sebuah negara Yahudi.

Bagi kaum Zionis hanya tersisa dua strategi untuk merebut kekuasaan: men-delegitimasi-kan orang Arab-Palestina, dimana kaum Zionis telah sangat berhasil membuktikan selama beberapa tahun terakhir; dan melempar mereka melalui cara tidak membuka lapangan kerja, atau melalui pengusiran secara paksa. Untuk beberapa lama para perintis Zionisme perpegang pada kepercayaan bahwa orang Arab-Palestina akan dapat dikeluarkan melalui meniadakan lapangan kerja bagi mereka. Strategi itu kentara sekali bagi pengamat luar, seperti Komisi King-Crane dari Amerika Serikat yang menyerahkan laporan mereka tentang Palestina pada tahun 1919, "Kenyataan mencuat berulang-kali dalam perundingan Komisi dengan perwakilan Yahudi bahwa kaum Zionis berharap mengusir sepenuhnya secara praktis penduduk non-Yahudi yang ada di Palestina melalui berbagai cara pembelian tanah". Laporan itu menambahkan bahwa, "penduduk non-Yahudi berjumlah hampir 90 persen dari keseluruhan".

Kampanye untuk mengusir para petani Arab-Palestina dikerjakan atas nama Buruh Zionisme. Pada permukaannya tampak seolah-olah sebagai suatu kebijakan yang menguntungkan dan tidak berbahaya, ditujukan untuk merehabilitasi Yahudi "diaspora" yang secara stereotipik lemah ke dalam Yahudi Baru Palestina. Salah seorang pemimpin terkemuka Buruh Zionisme, Aharon David Gordon, menulis bahwa selama penyelamatan itu harus dijalankan melalui "karya oleh tangan kitasendiri", sambil ia menambahkan, "Kita harus merasakan apa yang dirasakan oleh buruh kita, berpikir apa yang dipikirkannya, hidup dengan cara hidupnya, dengan cara yaitu cara kita. Hanya dengan itu kita dapat meyakinkan bahwa kita memiliki budaya kita sendiri, dan hanya dengan itu kita akan dapat hidup".

Dalam lingkungan terbatas, "masalah pengalihan" penduduk Arab-Palestina tetap merupakan topik diskusi yang berlanjut di kalangan dalam majelis Zionisme selama setengah abad sampai dengan pengusiran secara besar-besaran orang Arab-Palestina pada tahun1948. Sementara di antara kaum Zionis ada oposisi terhadap gagasan"pengalihan" itu atas dasar kemanusiaan, tetapi logika Zionisme mengharuskan tidak ada pilihan lain daripada men-delegitimasi-kan mayoritas orang Arab-Palestina, atau mengatasi jumlah mereka untuk mencapai terbentuknya negara Yahudi. Tetapi mencapai suatu mayoritas Yahudi ternyata tidak realistik. Bahkan pada tahun 1947, setelah bermigrasi hampir enam dasawarsa, hanya ada 589.341 orang Yahudi di antara penduduk Arab-Palestina yang 1.908.775 orang. Majelis Zionisme memutuskan untuk mengatasi "masalah pengalihan" itu dengan menempuh jalan terorisme seraya menutupnya dengan aksi propaganda yang intensif.

Orang Arab-Palestina menempati kedudukan yang tidak menguntungkan dengan ketidak-mampuan mereka melawan propaganda Zionisme di Barat,yang menggambarkan orang Arab-Palestina sebagai kaum yang bodoh,kotor, anti-Kristen, yang tidak perlu didukung. Meski tidak terlalu berhasil pada saat itu mendirikan sebuah negara Yahudi, namun usaha itu sangat efektif men-delegitimasi-kan dan menteror orang Arab-Palestina.

Bersamaan dengan itu kaum Zionis menggunakan usaha apa saja untuk memperkuat stereotipe yang anti-Islam, semacam propaganda yang taksyak lagi pernah mereka lakukan sebelum Perang Salib. Palestina digambarkan sebagai makhluk yang culas dan kotor dalam berbagai laporan berita (kemudian film dan teve pada masa kini), serta dalam setiap seminar, pamflet, dan wawancara. Hal itu menjadi sebuah proses yang masih terus berlanjut sampai dengan masa kini, bahkan sesudah pengakuan timbal-balik Israel-PLO pada tahun 1993 di Oslo.

Perhatian yang luas dicurahkan untuk memahami bagaimana kaum Zionisawal berhasil merebut tanah Palestina, tetapi hanya relatif sedikit studi yang difokuskan dan menempatkan kaum mayoritas Arab-Palestina. Tanpa kekuasaan ada dalam tangan kaum Yahudi, kaum Zionis menyimpulkan nasib mereka tidak akan lebih baik daripada di Eropa, mengingat gerakan Zionisme tumbuh khususnya sebagai suatu cara untuk menghindarkan diri dari anti-Semitisme, pogrom, ghetto,dan status minoritas.

Akar dari Zionisme menyentuh jauh ke dalam psyche penderitaan orang Yahudi. Tetapi penyebab utama kemunculannya yang bermula pada penghujung abad ke-19 itu adalah terjadinya gelombang migrasi secara massif sebagai akibat diberlakukannya 'pogrom' di Rusia pada tahun1881 dan meluasnya sikap anti-Semitisme di seluruh Eropa Timur pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Perorangan, keluarga, dan bahkan seluruh komunitas Yahudi, melarikan diri untuk menghindari teror anti-Semitisme. Sampai dengan pecahnya Perang Dunia ke-1 pada tahun 1914, kira-kira 2,5 juta orang Yahudi meninggalkan Rusia dan negara-negara Eropa lainnya, sebagian besar dari mereka melarikan diri ke Barat, khususnya ke Amerika Serikat, Kanada, Amerika Latin, dan Australia. Dan kurang dari 1% pindah ke Palestina dan menetap disana. Pada intinya inilah alasan paling mendasar tentang Zionisme – keputus-asaan yang mendalam - ternyata anti-Semitisme tidak dapat dihilangkan selama orang Yahudi hidup di tengah-tengah masyarakat non-Yahudi.

Hal ini bukan perasaan yang umum terdapat pada orang Yahudi, terutama di antara kaum cendekiawan dan pebisnis yang telah berhasil berasimilasi di dalam masyarakat dengan sistem demokrasi Barat, atau telah mendapatkan rasa aman yang dijamin oleh hak kebebasan beragama. Sejatinya Zionisme tetap merupakan gerakan kelompok minoritas di antara kaum Yahudi sampai memasuki abad ke-20.

Ada juga kelompok anti-Zionisme yang cukup kuat dan vokal, sepertithe American Council for Judaism di Amerika Serikat pada dasa warsa 1950-an, yang menganggap "ke Jerusalem tanpa tuntunan Al-Masih adalah penyimpangan dari Taurat". Salah satu buah dari kemenangan Israel dalam Perang 1967 atas bangsa-bangsa Arab ialah penerimaan final atas Zionisme sebagai makna politik oleh hampir segenap masyarakat Yahudi sejak itu.

Bahkan pada masa bayinya Zionisme telah menikmati dukungan kuat baik dari London maupun Washington. Terlebih-lebih adanya masalah sosial yang ditimbulkan oleh migrasi orang Yahudi secara massif, meyakinkan para pemimpin Barat untuk mendukung gagasan adanya negara Yahudi. Hal itu dikarenakan banjirnya emigran Yahudi yang meminta suaka ke negara-negara tersebut begitu besar jumlahnya dari tahun ke tahun, sampai-sampai suatu ketika hal itu memicu berbagai kerusuhan anti-imigrasi di London, dan menuntut undang-undang imigrasi yang restriktif baik di Inggeris maupun di Amerika Serikat.

Pembentukan negara Yahudi merupakan jalan keluar untuk meniadakan imigran Yahudi, dan dengan itu sekaligus menenangkan badai politik berkenaan dengan undang-undang imigrasi. Bahwa tidak banyak pertimbangan yang dipikirkan oleh para politisi terhadap dampak yang dapat timbul terhadap penduduk Arab-Palestina tidaklah mengherankan dalam lingkungan pada masa itu.

Di Palestina sendiri, kesultanan Utsmaniyah yang telah memerintah Palestina selama 400 tahun, bukannya tidak menyadari akan bahaya terhadap tata yang telah ada dihadapkan dengan kemungkinan imigrasi Yahudi yang tak-terbatas. Meskipun hanya ada 60.000 orang dari 2,5 juta yang melarikan diri dari Eropa Timur yang menjadi penduduk menetap di Palestina sampai dengan Perang Dunia ke-1, bahkan jumlah sekecil itu pun merasa sebagai orang-orang yang tidak disenangi. (BERSAMBUNG...)
 ·  · Share





ZIONISME Gerakan Menaklukkan Dunia (4)

by Paul Bee Godhick on Saturday, 14 August 2010 at 20:29
oleh : ZA. Maulani

BAB-1 : YAHUDI, ZIONISME DAN ISRAEL

KITA HARUS MEMAKSA PEMERINTAHAN "NON-YAHUDI" UNTUK MENERIMA LANGKAH-LANGKAH YANG AKAN MENINGKATKAN SECARA LUAS RENCANA YANG TELAH KITA BUAT YANG TELAH KIAN DEKAT DENGAN TUJUANNYA DENGAN CARA MELETAKKAN TEKANAN PADA PENDAPAT UMUM YANG TELAH KITA AGENDAKAN YANG HARUS DIDORONG OLEH KITA DENGAN BANTUAN APA YANG DINAMAKAN "KEKUATAN BESAR" PERS. DENGAN SEDIKIT PERKECUALIAN, TAK PERLU DIPIKIRKAN, KEKUATAN ITU TELAH BERADA DALAM GENGGAMAN KITA ("Protokol Zionis yang Ketujuh").
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Deklarasi Balfour

Pada tahun 1914-1918 pecah Perang Dunia Ke-1. Dalam perang tersebut daulah Usmaniyah memihak Jerman. Memanfaatkan situasi yang ada Chaim Weizmann pada tahun 1917 menulis surat kepada Parlemen Inggeris untuk meminta dukungan dan persetujuan Inggeris untuk membentuk sebuah negara Yahudi di Palestina. Pada tanggal 2 Nopember 1917 menteri luar-negeri Inggeris Lord Balfour mengirimkan nota kepada Parlemen Inggeris dengan isi, antara lain, "Menurut pendapat pemerintah Inggeris, mempertahankan Terusan Suez akan mencapai hasil maksimal dengan mendirikan suatu negara Palestina yang terikat dengan kita. Dan mengembalikan orang Yahudi ke Palestina di bawah pengawasan Inggeris akan menjamin rencana ini."

Parlemen Inggeris memberikan persetujuannya, dan dengan dasar dukungan itu Lord Balfour kemudian mengirim surat pada hari yang tidak jauh berselang kepada Baron Rothschilds yang intinya berbunyi, "Pemerintahan Sri Baginda dengan segala senanghati merestui pembentukan Tanah Air bagi kaum Yahudi di Palestina, dan akan menggunakan segala upaya untuk memfasilitasi tercapainya tujuan ini". Dukungan Inggeris kepada terbentuknya negara Yahudi itu terkait erat dengan kepentingan imperialisme global Inggeris sebagaimana ditegaskan oleh Winston Churchill pada tahun 1921, menteri luar-negeri Inggeris pada waktu itu, bahwa "Kalau Palestina tidak pernah ada, maka menurut keyakinan saya, demi kepentingan Imperium, ia harus diciptakan".

Pembentukan Negara Israel

Setelah Deklarasi Balfour pada 2 Nopember 1917 gerakan Zionisme mulai mendorong migrasi kaum Yahudi ke Palestina. Sesuai keputusan Konperensi Zionisme Internasional ke-1 di Bazel pada 1897 gerakan migrasi dan penguasaan tanah Palestina dilakukan dengan cara-cara : PERTAMA, pembelian tanah orang Arab-Palestina secara besar-besaran untuk membangun pemukiman Yahudi. Dana untuk pembelian tanah dari orang Arab-Palestina cukup besar, tetapi ternyata animo orang Yahudi untuk bermigrasi ke Palestina sangat rendah. Untuk memaksa orang Yahudi bermigrasi, kaum Zionis terpaksa melakukan tindakan KEDUA, yaitu melakukan teror gelap terhadap orang-orang Yahudi sendiri di Eropa, untuk memaksa mereka mau ber-exodus ke Palestina; KETIGA, selain itu kaum Zionis juga melakukan embargo terhadap pemukiman Arab-Palestina dengan menutup jalur suplai kebutuhan sehari-hari dan kadangkala dengan cara-cara intimidasi, sehingga mereka jatuh miskin dan terpaksa atau dipaksa menjual tanah atau berpindah tempat meninggalkan kampung halaman mereka; KEEMPAT, disamping itu gerombolan-gerombolan teroris Zionis seperti Haganah, Stern Gang, Bachnach, Irgun Levi L'ummi, dan sebagainya, secara terus-menerus melakukan teror dan pembunuhan gelap terhadap orang Arab-Palestina untuk memaksa mereka meninggalkan tanah dan tempat tinggalnya.

Tindakan itu dilakukan sejak tahun 1920 sampai dengan sekarang; dan yang terakhir, yang kelima, membangun kepemimpinan orang Yahudi di Palestina di bidang ekonomi dan politik. Dengan adanya Deklarasi Balfour (1917), gerakan Zionisme melakukan semua upayanya mendukung kegiatan perang Sekutu (Inggeris) di Timur Tengah, dengan jalan membentuk 'Jewish Corps' yang terdiri dari 500 pemuda Yahudi yang dilatih oleh Inggeris. Pada tahun 1940 dibentuk 'Squadron ke-40 The Royal Assault Arms' yang anggota anggotanya di kemudian hari menjadi kader pimpinan Israel Defence Forces (IDF) sesudah Israel merdeka. Di bidang politik gerakan Zionisme memperjuangkan Palestina agar berada di bawah 'Mandat' Inggeris. Sementara itu kaum Zionis makin giat mengerahkan migrasi orang Yahudi dengan target 1,0 juta jiwa harus sudah berada di Palestina dengan memanfaatkan selang-waktu sebelum 'Mandat' Inggeris terbentuk. Dan 'Mandat' itu agar telah diakhiri bilamana seluruh wilayah Palestina sudah berhasil dikuasai oleh gerakan Zionisme.

Setelah berakhirnya Perang Dunia ke-1 pada tahun 1918 Chaim Weizmann berjuang di fora internasional untuk mendapatkan pengakuan internasional atas Palestina sebagai "Tanah Air" bagi orang Yahudi. Ia juga aktif memperjuangkan terciptanya situasi yang kondusif bagi migrasi orang Yahudi ke Palestina tanpa hambatan dengan jaminan internasional. Yang lebih penting lagi ia turut-serta memperjuangkan hak 'Mandat' bagi Inggeris di Palestina, dimana di dalamnya termasuk kewajiban Inggeris untuk melindungi hak-hak kaum Yahudi di Palestina sebagai bagian dari perjuangan membentuk negara Israel.

Israel adalah Negara Theokrasi Tanpa Perbatasan yang Jelas

Negara Israel yang dirancang oleh Theodore Herzl pada tahun 1897 adalah sebuah negara theokrasi (sesudah Vatikan, Republik Islam Iran, dan Emirat Islam Afghanistan), yang terkait erat dengan ajaran Talmud tentang "Tanah Israel" (Erzt Israel). Negara Israel adalah satu-satunya negara di dunia yang tidak memiliki perbatasan yang jelas, atau dengan kata lain, tidak memiliki perbatasan sama sekali, baik dalam gagasan maupun dalam konstitusinya. Luas wilayah negara Israel yang dibentuk tidak pernah ditentukan.

Konsepsi tentang wilayah dan batas-batas negara Israel didasarkan pada Kitab Taurat. Berdasarkan Taurat, wilayah negara Israel luasnya "dari sungai Nil sampai ke sungai Eufrat dan Tigris" (Genesis Revisi ke-15, ayat 18), tanah-air menurut ajaran agama Yahudi adalah "Tanah Suci" (Kitab Zakaria 2 : 12), tanah itu adalah "Tanah Tuhan, karena Tuhan tinggal disana" (Kitab Yusya 9 : 3), tanah itu adalah "Tanah yang Dijanjikan oleh Tuhan kepada Ibrahim" (Kitab Tatsniah 11 : 12), dan menurut Taurat lagi, tanah itu adalah "Tanah pilihan untuk diwariskan kepada Ummat Pilihan". Taurat tidak dengan jelas menetapkan tentang batas-batas wilayah 'Erzt Israel'. Lagipula Deklarasi Balfour hanya menyebut "Tanah Air bagi Bangsa Yahudi" di Palestina tanpa menetapkan batas-batasnya.

Namun dalam Konperensi Perdamaian di Versailles pada tahun 1919, batas-batas wilayah negara Israel yang akan dibentuk ditetapkan sebagai berikut, di utara meliputi Shaida (Libanon) dan Damsyik (Suriah), di timur mencakup Amman (Yordania) dan Aqaba, sedang di barat sampai ke El-Arish di Mesir. Luas "Erzt Israel" yang ditetapkan oleh Konperensi Perdamaian Versailles 1919 yang membagi-bagi wilayah kekuasaan daulah Usmaniyah memberikan Israel wilayah dua kali lipat daripada wilayahnya yang sekarang.

Sementara itu terjadi perkembangan lain. Untuk membalas budi emir Talal dari Yordania yang turut membantu Inggeris berperang melawan daulah Usmaniyah, pemerintah Inggeris di Timur Tengah kemudian pada tahun 1922 menyerahkan sebagian dari wilayah Palestina, yaitu wilayah Trans-Yordania kepada emir Talal sebagai wilayah kerajaan Trans-Yordania, yang dalam penyerahan itu meliputi juga kota suci Jerusalem. Kebijakan Inggeris ini sangat menyakitkan hati kaum Zionis dan menganggapnya sebagai pengkhianatan oleh Inggeris dari janji semula. Dengan demikian wilayah negara Israel yang akan dibentuk tinggal 1/8 saja dari wilayah yang ditetapkan oleh Konperensi Perdamaian Versailles 1919.

Pada tanggal 22 Juli 1922 Liga Bangsa-Bangsa ('League of Nations') menetapkan Palestina sebagai wilayah 'Mandat' bagi Inggeris. Selanjutnya sesudah Perang Dunia ke-2 Majelis Umum PBB ('United Nations') memutuskan Palestina dibagi dua menjadi wilayah Israel dibarat dan wilayah Trans-Yordania di timur. Para pemimpin Zionis kecewa sekali, karena wilayah negara Yahudi yang dipahami oleh kaumZionis adalah dari sungai Nil sampai ke Eufrat, sekurang-kurangnya seluruh Palestina. Karena kekecewaan itu mereka memutuskan mengangkat senjata dengan melakukan gerakan teror terhadap kepentingan Inggeris di Palestina untuk memproklamasikan negara Zionis Israel pada tanggal 14 Mei 1948 ketika Mandat Inggeris berakhir di Palestina. David Ben-Gurion, perdana menteri Israel yang pertama menyatakan "Perang Kemerdekaan" , dan bertekad untuk merebut kembali Tanah Israel yang ditetapkan oleh Konperensi Perdamaian Versailles 1919. "Kita harus menyerang di semua lini. Tidak hanya sebatas wilayah Palestina, atau wilayah Israel semata".

Konsep agama ini oleh Kaum Zionis sekuler tetap dipertahankan, tetapi lebih dikembangkan, disesuaikan dengan ambisi gerakan Zionisme. Ketika ditanya tentang batas-batas negara Israel, Chaim Weizmann, presiden pertama negara Israel, menegaskan, "Luas negara Israel tidak ditentukan. Luasnya akan disesuaikan dengan kebutuhan dan jumlah penduduknya". Perdana menteri Israel Golda Meir bahkan dengan congkak menyatakan, luas negara Israel adalah "sejauh yang dapat dicapai oleh militer Israel".

Perang Arab-Israel yang pertama pecah pada tahun 1948, dan berlanjut terus dengan perang 1957, 1963, 1967, 1973, sampai dengan sekarang. Selama peperangan antara Israel dengan Palestina, korban di pihak rakyat Arab-Palestina pada tahun 1993 saja meliputi 261.000 jiwa syahid, 186.000 orang terluka, dan 161.000 cacad untuk seumur hidup. Pada tahun 1997 paling tidak ada 5,4 juta jiwa yang tergusur dari kamp-kamp pengungsian yang diduduki oleh Israel. Sikap politik sekuler Israel itu didukung oleh fatwa para 'hachom' (alim ulama Yahudi) yang menyatakan, bahwa "Taurat melarang pengosongan basis militer di Yahuda dan Samira (Tepi Barat), dan melarang menyerahkannya kepada bangsa selain bangsa Yahudi".

Berjalinnya ajaran Talmud dengan kepentingan politik tersebut merupakan salah satu penyebab mengapa negara theokratik Israel bersifat sangat ekspansionistik dan kolonialistik, tanpa meninggalkan modus terorisme sebagai cara untuk memperluas wilayah dan menegakkan hegemoni mereka.

Israel adalah Negara Rasis

Gerakan Zionisme adalah suatu gerakan berdasarkan prinsip 'rasisme'. Rasisme adalah suatu paham yang mempercayai bahwa suatu ras tertentu lebih unggul daripada ras-ras yang lain. Hal itu didasarkan pada paham:

1) Berdasarkan Talmud kaum Yahudi mempercayai mereka adalah "Ummat Pilihan Tuhan", dan memiliki derajat dan keunggulan diatas bangsa-bangsa mana pun. Berdasarkan Talmud pula bangsa-bangsa non-Yahudi tergolong sebagai "goyyim", yang artinya 'subhuman', atau "kaum budak", bagi bangsa Yahudi.

2) Berdasarkan prinsip rasis tadi, kaum Yahudi bersikap dan berperilaku rasis pula.

3) Di mata kaum Yahudi semua bangsa tanpa kecuali, termasuk orang Arab-Palestina, tergolong 'goyyim', yang artinya lebih rendah derajatnya dari manusia, dan karenanya "tidak boleh dan tidak dapat diperlakukan sebagai manusia".

4) Berdasarkan prinsip rasis tersebut kaum Yahudi menghalalkan segala cara terhadap kaum 'goyyim', termasuk cara-cara terorisme sebagai modus operandi utama untuk membangun negara Yahudi.

5) Negara Israel sejak dicita-citakan sampai dengan berdirinya sebagai suatu negara didirikan di atas pondasi "terorisme oleh negara" sampai dengan sekarang.

Ideologi Zionisme negara Israel dibentuk sepenuhnya berdasarkan pada keyakinan keunggulan ras Yahudi. Meski tersebar di seluruh dunia, "bangsa Yahudi adalah bangsa yang satu, ummat pilihan Tuhan, bangsa yang derajatnya di atas ras atau bangsa-bangsa yang lain". Karena paham itu pula setiap orang Yahudi berdasarkan keturunan darah langsung secara otomatis adalah warga negara Israel dimana pun mereka berada. Penduduk Israel yang non-Yahudi, dapat menjadi warga negara Israel, namun karena kedudukan mereka sebagai 'goyyim', mereka tidak memiliki hak-hak yang sama dengan orang Yahudi. Mempertimbangkan hal tersebut PBB mengeluarkan Resolusi PBB No. 3379-D/10/11/75 yang menyatakan bahwa "Zionisme adalah Gerakan Rasisme". Resolusi ini hanya mampu bertahan 15 tahun. Setelah Perang Teluk berakhir pada tahun 1991, atas desakan Amerika Serikat, Resolusi PBB No. 3379-D/10/11/75 tersebut dicabut.

Prinsip kewarga-negaraan ganda itu dikaitkan dengan banyaknya kedudukan di bidang politik, ekonomi, dan militer di Amerika Serikat yang kebetulan diduduki atau dikuasai oleh orang Yahudi, mengakibatkan nyaris semua kebijakan Amerika Serikat tidak dapat dipisahkan dengan kepentingan negara Yahudi Israel.

Contoh yang paling menyolok dan mendapatkan kecaman dari dunia internasional, termasuk dari Mary Robertson, ketua Komisi Hak-hak Azazi Manusia PBB, adalah kegagalan PBB pada tanggal 29 Agustus – 3 September 2001 pada konperensi yang ditaja PBB di Durban, Afrika Selatan, untuk membicarakan tentang "Rasialisme, Xenophobia dan Intoleransi". Dalam agenda konperensi semula ada tercantum draft untuk membahas kedudukan Israel. Meskipun dalam resolusi yang dihasilkan oleh konperensi PBB tersebut kemudian berhasil digagalkan oleh negara-negara Uni Eropa untuk menghapus posisi negara Israel sebagai sebuah negara rasis, Amerika Serikat dan Israel tetap tanpa kepalang tanggung memboikot konperensi itu dengan cara walk-out bahkan sebelum sidang dimulai.

Israel Negara Berdasarkan Terorisme

Prof. Emeritus Edward Herman dari Wharton School of Business mendefinisikan terorisme sebagai "tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang ditujukan kepada penduduk sipil untuk menjacapai "Sejauh yang dapat dicapai militer Israel". Golda Meir, perdana menteri Israel, mengenai batas luas negara Israel. Ia memilah-milahkan terorisme ke dalam empat kategori. PERTAMA, terorisme melawan pemerintah yang ditujukan untuk menggulingkan atau mengganti pemerintah tersebut ; KEDUA, terorisme yang dijalankan oleh pemerintah atau negara terhadap lawan-lawan politiknya; KETIGA, terorisme yang dilakukan oleh gerakan revolusioner, anarchis, non-politik (kelompok ekologi), atau kelompok milleneria (contoh, gerakan Aum Sangrinkyo); KEEMPAT, tindakan kekerasan dalam rangka perjuangan kemerdekaan nasional.

Pada pertengahan bulan September 2001, beberapa hari setelah peristiwa Selasa Kelabu serangan terhadap gedung-kembar WTC di New York, suatu Komisi PBB berusaha untuk mendefinisikan tentang terorisme dalam rangka merumuskan sikap terhadap fenomena terorisme. Ada dua sikap terhadap terorisme yang berkembang dalam debat mengenai hal itu. PERTAMA, pemberantasan terorisme tanpa perlu melihat faktor-faktor penyebab timbulnya terorisme. Kalangan ini yang dipimpin oleh Amerika Serikat berpendapat faktor-faktor penyebabnya dapat diselesaikan kemudian. KEDUA, pendapat yang menyatakan bahwa penanganan terorisme harus disertai dengan penelitian yang komprehensif dan obyektif untuk meniadakan akar masalah dan faktor-faktor penyebab dari terorisme, yang umumnya didukung oleh negara-negara Dunia Ketiga. Usaha Komisi PBB untuk merumuskan definisi tentang terorisme gagal karena mendapatkan tentangan dari Amerika Serikat dan Israel, khususnya tatkala pembicaraan sampai kepada "terorisme oleh negara".

Terorisme oleh negara dikenal dengan empat jenis, PERTAMA, terorisme yang dilakukan untuk menegakkan pemerintahan imperialis, kolonialis, rasis, dan fasis; KEDUA, tindakan suatu negara atau pemerintah memberikan bantuan kepada kelompok-kelompok bersenjata baik kepada kejahatan terorganisasi (organized crime) atau kelompok politik, untuk merobohkan suatu negara ketiga yang berdaulat; KETIGA, tindakan terorisme oleh suatu pemerintahan untuk menentang gerakan kemerdekaan nasional, atau hak untuk menentukan nasib sendiri; KEEMPAT, melaksanakan politik pemerintah melalui cara-cara terorisme yang bertentangan dengan hak-hak azazi manusia, dimana tindakan tersebut ditentang oleh rakyatnya.

Resolusi PBB No. 3103 tanggal 12 Desember 1973 menyatakan bahwa setiap bentuk perjuangan untuk mewujudkan kemerdekaan, mempertahankan hak untuk menentukan nasib sendiri, adalah syah sesuai hukum internasional. Resolusi itu juga menetapkan bahwa upaya membasmi perjuangan ini merupakan pelanggaran terhadap ketetapan PBB dan deklarasi prinsip hukum internasional tentang persahabatan dan kerja-sama internasional. Resolusi ini memandang bahwa konflik bersenjata yang menyertai perjuangan nasional dipandang sebagai konflik bersenjata internasional dan dilindungi oleh Konvensi Jenewa 1949. Para pejuang yang tertawan disamakan dengan tawanan perang yang dilindungi hak-haknya oleh Konvensi Jenewa 1949. Sejak merintis pembentukan negara Zionis Israel dari tahun 1880 sampai dengan sekarang, para pemrakarsa dan pemerintah Israel yang sekarang tidak pernah melepaskan cara-cara terorisme dalam rangka memperluas wilayahnya dan memaksakan kehendak politiknya terhadap bangsa Arab-Palestina.

Sejak tahun 1880, tiga tahun setelah Kongres Zionis Internasional ke-1 di Bazel, seraya melakukan pembelian tanah orang Arab-Palestina, usaha itu disertai dengan mengorganisasikan gerakan terorisme bersenjata Yahudi di bawah nama Hashumer yang menteror orang Arab-Palestina untuk memaksa mereka menjual tanahnya dan meninggalkan kampung halaman mereka.

Dari tahun 1920 – 1930 organisasi Haganah di bawah pimpinan David Ben-Gurion melakukan teror kekerasan dengan tugas yang semulahanya terbatas sebagai kekuatan bersenjata untuk mempertahankan pemukiman imigran Yahudi, tetapi kemudian berubah menjadi tugas penyerangan terhadap orang Arab-Palestina. Haganah juga berfungsi bukan hanya sebagai instansi militer, tetapi menugaskan dirinya sebagai "administrasi pemerintahan" di pemukiman kaum Yahudi.

Selama Perang Dunia ke-1 Haganah menjelma menjadi Squadron al-Bighala (Skuadron Keledai), yang dilatih oleh militer Inggeris, dan pada tahun 1917 menjadi Jewish Corps, lalu berubah lagi menjadi Skuadron ke-40 dari the Royal Assault Arms, yang dengan gigih membantu Sekutu selama perang berlangsung. Organisasi ini pada tahun 1918, menjelang berakhirnya Perang Dunia ke-1, memanfaatkan situasi secara aktif melakukan pengadaan dan pembelian senjata untuk mengantisipasi konflik yang mereka rancang terhadap masyarakat Arab-Palestina. Pengadaan senjata tersebut terkait dengan rencana Ben Zion Dinor yang menyususn "daftar dan tanggal aksi pembunuhan" terhadap para pemimpin Arab-Palestina.

Ketika negara Yahudi Israel berdiri pada bulan Mei 1948, organisasi Israel Defence Forces (IDF) dibentuk, yang para pemimpinnya pada umumnya berasal dari tokoh-tokoh organisasi teroris seperti Haganah, Bahnach, Stern Gang, Irgun (Tesfa'i Leummi Barter Yasra'il), Lehmi Herot Israel (LEHI), dan sebagainya. Bahkan setelah Israel merdeka politik terorisme oleh negara tetap dipertahankan oleh Israel dengan membiarkan, bahkan memberikan bantuan intelijen kepada organisasi-organisasi teroris Yahudi seperti Kach (di bawah pimpinan Rabbi Kahane Meyer), Haschmunaem (organisasi teroris kelompok fundamentalis Yahudi), Moked Yahef yang beroperasi di pemukiman orang Arab-Palestina, Herab David, Sihrikim, Herf David, dan entah apa lagi.

Terorisme yang paling brutal adalah serangan terhadap kamp pengungsi Arab-Palestina di desa Shabra dan Shatilla di Libanon Selatan selama tiga hari beruntun dari tanggal 16 sampai 18 September 1982 yang dipimpin oleh brigadir jenderal Ariel Sharon. Mereka membantai seluruh penghuni kedua kamp pengungsi yang terdiri dari anak-anak, wanita, orang-jompo, dan siapa saja yang mereka temui. Pembantaian tanpa mengenal peri-kemanusiaan itu memakan korban 3.297 orang syahid, dalam tempo hanya tidak lebih dari tiga hari. Berarti lebih dari 1.000 orang pengungsi Arab-Palestina dibantai setiap hari. Tidak ada kutukan dari PBB, tidak ada kecaman dari Amerika Serikat dan negara-negara Barat. Dari sekian banyak terorisme yang dilakukan oleh negara Israel tercatat serangan yang ditujukan kepada markas perwakilan PLO di sebuah negara berdaulat Tunisia pada tanggal 1 Oktober 1985 yang berhasil membunuh sejumlah fungsionaris PLO.

Selanjutnya serangan terhadap Libanon Selatan sampai ke Beirut pada bulan April 1996 dengan operasi di bawah nama 'Cluster Wrath' (Kutukan Beruntun), yang sejak serangan itu dilancarkan tidak pernah berhenti sampai dengan saat ini. Memanfaatkan kesempatan dengan adanya Perang Afghanistan, dengan dalih "menghancurkan terorisme internasional", ketika seorang menteri pariwisata Israel terbunuh oleh serangan bom bunuh-diri, Israel melakukan serbuan terhadap kawasan Tepi Barat dan Gaza di wilayah Otoritas Palestina dengan menghancurkan kantor-kantor Otoritas Palestina, memburu dan membunuh tokoh-tokoh politik Palestina, menteror dan membunuh penduduk, dan melakukan tindakan tahanan rumah terhadap Ketua Otoritas Palestina Yasser Arafat. Permintaan presiden Yasser Arafat agar Amerika Serikat turun tangan untuk menghentikan terorisme Israel terhadap Otoritas Palestina dan rakyatnya tidak mendapatkan tanggapan yang positif. Amerika Serikat melalui peryataan presiden George W. Bush menyatakan bahwa Israel berhak untuk membela diri dari "teorisme bom bunuh diri". Selama Yasser Arafat tidak mampu menghentikan serangan-serangan teorisme itu tidak ada gencatan senjata, apalagi untuk mengundang kedua-belah pihak melakukan pembicaraan tentang perdamaian. Malah persiden Bush memandang Ariel Sharon sebagai seorang "tokoh perdamaian".

Sikap angkuh dan tidak berperi-kemanusiaan kaum Yahudi dapat disimak dari pernyataan-pernyataan para hachom (alim-ulama) dan rabbi (guru agama) serta para pemuka Yahudi seperti dikutip di bawah ini.

"Usir penduduk yang tak berduit sesenpun itu keluar perbatasan (Palestina) dengan cara menolak lapangan-kerja ... Kedua proses, baik meniadakan mereka dari kepemilikan maupun pengusiran kaum melarat itu, harus dilaksanakan dengan cara yang sangat hati-hatidan dengan kewaspadaan." (Theodore Herzl, pendiri Organisasi Zionis Dunia, yang berbicara tentang bangsa Arab-Palestina, diangkat dari 'Complete Diaries of Theodore Herzl', entri tanggal 12 Juni 1895).

"Ada sementara kalangan yang percaya bahwa penduduk bukan-Yahudi, bahkan dalam persentase yang tinggi sekali pun, dalam wilayah perbatasan negara kita akan dapat dengan cara lebih efektif di bawah pengamatan kita; dan sebagian lagi percaya yang sebaliknya, bahwa lebih mudah mengamati tetangga daripada mengamati penyewa. (Saya) cenderung mendukung pendapat yang kedua, dan (saya) ingin menambahkan argumen yang kedua: kebutuhan kita ialah melanjutkan watak negara yang bersifat Yahudi secara lestari ... caranya dengan membatasi minoritas bukan-Yahudi dimana jumlah mereka tidak boleh lebih dari pada 15 persen. Saya telah sampai kepada posisi dasar ini sejak tahun 1940, (dan) telah saya masukkan ke dalam buku-harian saya." (Joseph Weitz, ketua Departemen Kolonisasi dari Badan Yahudi, diangkat dari buku Uri Davis, From Israel: 'An Apartheid State').

Keterangan Rabin setelah jatuhnya Lydda, dan tuntasnya pelaksanaan Rencana Dalet pada tahun 1960, sebagaimana diceriterakan oleh Uri Lubrani, penasehat khusus perdana menteri Ben-Gurion bidang Urusan Arab, "Kita akan menurunkan peran penduduk Arab (di Palestina) menjadi tidak lebih dari pada tukang potong kayu dan pelayan." (Sabri Jiryas, 'The Arabs in Israel').

"Kita harus melakukan segala upaya untuk menjamin agar mereka (pengungsi Arab-Palestina) tidak akan pernah kembali (ke Palestina)." (Diangkat dari buku-harian perdana menteri Ben-Gurion, entri 18 Juli 1948, sebagaimana dikutip dalam buku Michael Ben-Zohar, 'Ben Gurion: the Armed Prophet', Prentice-Hall, 1967).

"Perkampungan Yahudi kita bangun di bekas perkampungan Arab. Kita bahkan tidak pernah tahu nama dari perkampungan Arab tersebut, dan saya tidak dapat menyalahkannya, karena buku-buku ilmu bumi (lama) sudah tidak lagi dibaca; lagi pula perkampungan Arab sudah tidak ada lagi disana. Nahlal dibangun di bekas kampung Mahlul; Kibbutz Gvat di bekas Jibta; Kibbutz Sarid di bekas Huneifi; dan Kefar Yehushua di bekas Tal al-Shuman. Tidak ada sepotong pun tempat yang dibangun bukan di bekas perkampungan Arab. (Pidato Moshe Dayan kepada mahasiswa Technion, Haifa, sebagaimana dilaporkan dalam Sk. Haaretz tanggal 4 April 1969).

"Adalah menjadi kewajiban dari setiap pemimpin Israel untuk menjelaskan kepada masyarakat, dengan cara yang jelas dan berani, mengenai beberapa fakta tertentu yang telah terlupakan bersamaan dengan lewatnya waktu. Yang utama di antaranya, bahwa tidak ada yang namanya Zionisme, kolonialisasi, atau negara Yahudi tanpa pengusiran orang Arab dan penyitaan tanah mereka." (Yoram Bar Porath, sebagaimana dilaporkan oleh Sk.Yediot Ahronot, tanggal 14 Juli 1972).

"Kita harus menggunakan teror, pembunuhan, intimidasi, penyitaan tanah, dan pemutusan semua pelayanan sosial untuk membersihkan tanah Galilea dari penduduk Arab." (Israel Koenig, 'The Koenig Memorandum', 1978).

"Sekiranya saya seorang pemimpin bangsa Arab, saya tidak akan pernah membuat perdamaian dengan Israel. Ini wajar: kita telah merampas negeri mereka." (David Ben-Gurion sebagaimana dikutip dari buku Nahum Goldmann, 'The Jewish Paradox', Weidenfeld and Nicholson, 1978).

"Kita harus bersiap untuk melaksanakan ofensif. Tujuan kita adalah menghancurkan Libanon, Trans-Jordania, dan Suriah. Titik lemah adalah Libanon, karena rejim muslim yang ada bersifat artifisial dan mudah dirobohkan. Kita harus menegakkan suatu negara Kristen disana, dan kemudian kita akan hancurkan Legiun Arab, menghabisi Trans-Jordania; selanjutnya Suriah akan jatuh dengan sendirinya. Kemudian kita akan membom dan bergerak untuk menduduki Port Said, Iskandariah, dan Sinai." (David Ben-Gurion dalam pidato pengarahannya kepada Staf Umum tentara Israel pada bulan Mei 1948. Diangkat dari buku Michael Ben-Zohar, 'Ben-Gurion: A Biography', Delacorte, New York, 1978).

"Kami berjalan di luar di udara terbuka, Ben-Gurion mengawani kami. Allon mengulang kembali pertanyaannya, 'Apa yang harus dilakukan terhadap penduduk Palestina?'. Ben-Gurion menepiskan tangannya yang mengisyaratkan, 'Usir mereka keluar!' " (Yitzhak Rabin, versi yang dibocorkan yang telah disensor, yang diangkat dari 'Memoar Rabin', diterbitkan di New York pada tanggal 23 Oktober 1979).

"(Orang Palestina) tidak lain adalah binatang yang berjalan di atas dua-kaki." (Menahem Begin dalam pidatonya di depan Knesset, sebagaimana dikutip dari buku Amnon Kapeliouk, 'Begin and the Beasts', New Statesmen, tanggal 25 Juni 1982).

"Kita menyatakan secara terbuka bahwa orang Arab tidak punya hak berdiam bahkan satu sentimeter pun di Erzt Israel ... Kekuatan (militer) adalah satu-satunya yang mereka pahami. Kita akan gunakan kekuatan secara maksimum sehingga orang Palestina akan mendatangi kita dengan merangkak." (Rafael Eitan, kepala staf tentara Israel, sebagaimana dilaporkan oleh Sk. Yediot Ahronot tanggal 13 April 1983 dan Sk. The New York Times tanggal 14 April 1983).

"Tiap orang harus bergerak, berlari, dan merebut puncak bukit sebanyak mungkin untuk memperluas pemukiman, karena apa yang kita rebut hari ini akan menjadi milik kita untuk selama-lamanya ...Apa yang tidak kita rebut akan menjadi milik mereka." (Pidato Ariel Sharon, laporan AFP pada tanggal 15 Nopember 1998) (BERSAMBUNG...).



ZIONISME Gerakan Menaklukkan Dunia (5)

by Paul Bee Godhick on Sunday, 15 August 2010 at 16:05
oleh : ZA. Maulani

BAB-2 : QABAL, ILLUMINATI DAN FREEMASONRY

BILA KITA TELAH MENJADI PENGUASA, KITA HARUS MEMANDANG SEBAGAI HAL YANG SAMA SEKALI TIDAK DIKEHENDAKI KEBERADAAN AGAMA-AGAMA LAINNYA KECUALI AGAMA KITA; MENYATAKAN HANYA ADA SATU TUHAN YANG OLEH TAKDIR-NYA KITA TELAH DITENTUKAN SEBAGAI 'UMAT PILIHAN', DAN YANG MELALUI TAKDIR-NYA PULA NASIB KITA MENYATU DENGAN MASA DEPAN DUNIA. KARENA ALASAN INILAH KITA HARUS MENGHANCURKAN SEMUA AGAMA LAINNYA. KALAU ADA MUNCUL ATHEISME KONTEMPORER, SEBAGAI LANGKAH TRANSISI PAHAM INI TIDAK AKAN MENGHALANGI TUJUAN KITA ("Protokol Zionisme yang Keempat-belas").
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kepercayaan Qabala

Akibat mengalami penindasan yang panjang selama beribu tahun kaum Yahudi memelihara kepercayaan nenek-moyang mereka yang pada dasarnya menyimpang bahkan bertentangan dengan aqidah yang diajarkan oleh Nabi Musa a.s. Kepercayaan kuno itu dipelihara dengan keyakinan untuk mempertahankan eksistensi mereka. Di antara kepercayaan yang tertua dan paling dihormati adalah kepercayaan 'Qabala', atau kadangkala ditulis 'Kabbala'. Nama Qabala diambil dari kata Ibrani 'qibil', yang maknanya "menerima". Qabala dalam hal ini berarti "menerima doktrin okultisme (ilmu sihir) rahasia".

Sejak masa Nabi Ibrahim a.s. meninggalkan Sumeria (Iraq sekarang ini) sampai dengan penjajahan Romawi atas Palestina, Qabala tetap merupakan kepercayaan Yahudi yang sangat rahasia, yang ajarannya hanya diketahui oleh anggotanya, yang disampaikan dengan cara dari mulut ke kuping, disampaikan oleh para pendeta tinggi kepada para novice. Selama periode ini para pendeta tinggi itu tinggal di Sumeria, kemudian menyebar ke Mesir Kuno, dan Palestina Kuno. Salah seorang pendeta tinggi Qabala ialah Samir, tokoh yang mengajak Bani Israeli yang baru saja keluar dari tanah Mesir untuk menyembah sebuah patung anak sapi yang terbuat dari emas, tatkala mereka ditinggalkan oleh Nabi Musa a.s. berkhalwat di gunung Tursina di Sinai untuk menerima wahyu 'Firman yang Sepuluh' dari Allah.

Beberapa waktu sesudah berakhirnya penjajahan Romawi di Palestina, para pendeta tinggi Qabala memutuskan tradisi okultisme kuno itu untuk direkam secara tertulis ke atas papyrus berupa gulungan ('scroll') sebagai usaha agar ajaran itu dapat diwariskan kepada generasi Yahudi berikutnya. Selama masa pendudukan Romawi itu ajaran Qabala dihimpun dari berbagai tradisi lisan ke dalam beberapa gulungan, dan akhirnya dijilid ke dalam sebuah kitab yang utuh.

Tugas menghimpun ajaran yang masih berupa lisan itu dibebankan kepada dua orang, yaitu 'Rabbi' (Guru) Akiva ben Josef, yang menjadi ketua Majelis Tinggi Pendeta Sanhedrin pada waktu itu, dan pembantunya Rabbi Simon ben Joachai. Pada waktu itulah Qabala tersistematikkan menjadi dua jilid: 'Sefer Yetzerah' (Kitab Genesis, tentang Penciptaan Alam Semesta), dan 'Sefer Zohar' (Kitab Keagungan).

Kitab Zohar penuh dengan ayat-ayat yang bersifat rahasia dan amsal, dan ayat-ayat itu hanya dapat dipahami melalui Kitab Yetzerah, semacam kitab tarjamah. Beberapa abad sesudah Masehi, di Eropa muncul kitab ajaran Qabala yang baru bernama 'Sefer Bahir'- 'Kitab Cahaya'. Ketiga kitab itu semuanya tertulis dalam bahasa Ibrani, yang kemudian atas pertimbangan pragmatisme diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa Eropa. Ketiga kitab Qabala itu memuat ajaran sangat suci bagi kultus sesat, penyembahan kepada Iblis, dan menjadi buku pegangan Gereja-gereja Iblis di seluruh dunia (termasuk Gereja Penyembah Iblis yang pernah ada di Jakarta).

Kaum Yahudi Qabalis, sebagaimana ajaran Samir, secara terang-terangan menyatakan permusuhan mereka kepada Tuhan Yang MahaEsa, Maha Pencipta Alam Semesta. Menurut iman mereka Iblis, atau Lucifer, sebagaimana mereka menyebutnya dengan penuh hormat, telah "diperlakukan dengan tidak adil" dan ia adalah satu-satunya tuhan yang patut disembah. Iblis adalah tuhan mereka.

Iblis, atau khususnya 'Setan', dalam bahasa-bahasa Semit (termasuk bahasa Arab) berarti "pemberontak", yakni "memberontak kepada Allah", karena itu kaum Qabalis tidak menyebutnya dengan nama Iblis. Mereka menyebutnya dengan nama Lucifer, yang berati "pembawa sinar cahaya". Penggunaan kata Iblis dianggap sebagai penghujatan kepada tuhan mereka. Kata Lucifer berarti cahaya, terang, pencerahan, dan sebagainya.

Salah satu thema penting yang berkaitan dengan kepercayaan Qabala ialah kekuasaan yang datang dari cahaya, api, dan matahari. Ketiga hal itu menjadi perlambang dari ajaran penyembahan kepada Iblis, yang dipercayai diciptakan dari api. Segala sesuatu yang berkaitan dengan cahaya, api atau matahari, merupakan perlambang dari Iblis.

Ajaran Qabala menjelaskan adanya hierachie kekuasaan yang mereka sebut "sefrotim", yang dalam bahasa Ibrani berarti "penyinaran". Ada sepuluh 'sefrotim', yang dalam bahasa Ibrani disebut 'sitra ahra', yang artinya "sisi lain". Penyinaran 'sefrotim' direpresentasikan oleh sejumlah makhluk supra-natural yang dalam bahasa Ibrani disebut 'shedim'. 'Shedim' terdiri dari sejumlah roh. Roh tertinggi adalah Lucifer sebagai "pembawa cahaya". Semua roh yang disebut 'shedim' itu tercipta dari asal api. Oleh karena itu api menjadi sesembahan terpenting dalam ajaran Qabala. Beberapa di antara 'shedim' itu ada yang kawin-mawin dengan manusia, dan mereka ini disebut 'mazzikim', atau "shedim yang tidak berbahaya", dan anak hasil perkawinan itu bila lahir disebut 'banim shovavim' yang artinya "anak haram-jadah".

Menurut ajaran Qabala manusia tidak butuh akan Allah, bahkan menurut mereka manusia bisa menjadi manusia suci yang setara dengan tuhan. Mereka menyebut paham yang deseptik ini dengan istilah 'humanisme', bahwa manusia berdaulat untuk mengatur  hidupnya sendiri di dunia. Kaum Qabalis menyebarkan paham ini kepada kaum non-Qabalis untuk menghancurkan keimanan manusia kepada Allah.

Kaum Qabalis acapkali menggunakan simbol-simbol seks untuk merepresentasikan 'humanisme'. Organ lelaki disimbolkan dengan 'phallus' ('lingga'), sebagai perlambang kekuasaan regeneratif, atau kekuasaan untuk berkembang biak. Sedangkan organ wanita dilambangkan oleh pelataran yang disebut 'yoni' yang memperlambangkan kawasan kesuburan. 'Yoni' disebut juga dengan nama lain, "Ibu Pertiwi" ('Mother Earth').

Simbol-simbol kaum Qabalis ini bukan hanya terdapat di Mesir Kuno berupa obelisk, yaitu tugu batu tegak, tetapi oleh kaum Qabalis dibawa bersama mereka dan kemudian berkembang ke berbagai ibukota dunia seperti di Washington, DC. dan ibukota-ibukota Eropa. Obelisk yang didirikan umumnya menghadap ke bangunan pusat kekuasaan sebagai perlambang kekuasaan (kejantanan), dan obelisk semacam itu juga direpresentasikan pada Monumen Nasional (Monas) di Jakarta, dengan lambang 'phallus' ('lingga') yang bertumpu di atas 'yoni', perlambang organ wanita (aliran Hinduisme yang dikenal dengan nama Tantri-isme, adalah cabang ajaran Qabala yang menyebar ke India; peninggalan Tantri-isme di Indonesia ditemukan di candi Sukuh, Tawangmangu). Monumen Nasional di Jakarta menghadap langsung ke Istana Merdeka, bahkan obelisk semacam itu didirikan juga di plaza St. Petrus, Vatikan.

Kaum Qabalis juga menggunakan imej segitiga dan bangunan piramida untuk merepresentasikan struktur hierarchie mereka. Para elit Qabalis duduk pada puncak piramida menguasai massa yang berkewajiban menopang piramida tersebut. Lambang kaum Qabalis, piramida dengan sebiji mata Lucifer yang "selalu mengawasi dan menguasai", terdapat pada sisi belakang mata-uang kertas dolar Amerika sekarang ini. Kaum Qabalis juga menggunakan lambang dua buah segitiga yang dipasang menjadi satu dengan posisi masing-masing terbalik, menjadi bintang segi-enam yang kini oleh orang Yahudi di-disinformasikan seolah-olah sebagai 'bintang Nabi Daud a.s.". Dua buah bintang segitiga masing-masing dengan posisi terbalik sebagai lambang Lucifer itu didisinformasikan oleh kaum Qabalis sebagai lambang bintang dari "Nabi Daud" pada tahun 1948 di PBB. Penciptanya adalah Joseph Stalin, diktator Uni Sovyet, sebagai negara pertama yang mengakui negara Yahudi Israel.

Selain itu kaum Qabalis juga menggunakan lambang bintang segi-lima yang terbalik, dua ujung menghadap ke atas, dua ujung  menghadap ke samping dan satu ujung menghadap ke bawah, yang melambangkan dewa berkepala kambing 'Mendes'. 'Mendes' adalah nama lain dari Lucifer. Dua ujung bintang yang menghadap ke atas merupakan tanduk, dua ujung yang ke samping adalah kupingnya, dan ujung yang menghadap ke bawah adalah dagunya. Mendes disebut juga dengan nama lain, yaitu 'Baphomet'. Nama 'Baphomet' merupakan singkatan dari Templi Omnium Hominem Pacis Abbas bila dibaca secara terbalik, yang artinya 'Bapa dari Haikal Perdamaian Semesta'.

Kepercayaan Qabala selanjutnya tumbuh dan berkembang baik dalam jumlah maupun dalam kekuasaan ke seluruh dunia dalam berbagai bentuk dan aspeknya di dalam masyarakat. Media massa Indonesia pernah melaporkan hadirnya sebuah gereja Iblis, sebuah night-club, dan sebuah hotel, di Jakarta, yang didedikasikan kepada Lucifer. Para penyembah Iblis ini menggunakan kebohongan, pemerasan, suap, seks bebas, dan bahkan kekerasan, untuk mencapai tujuannya membangun penguasaan kehidupan di dunia. Ajarannya bertujuan untuk menghancurkan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta Alam Semesta, dan siapa saja yang menghalangi penyembahan Lucifer.

Kepercayaan Qabala - Aliran Zoroaster di Persia

Zoroasterisme adalah salah satu cabang dari kepercayaan Qabala yang menyebar ke Persia dengan praktek keagamaannya lebih menekankan pada sihir bersamaan dengan penyembahan kepada Iblis. Para pemimpin agama Zoroaster disebut dengan nama 'magi', ritual agamanya disebut 'magus', dan dari kata inilah kemudian menjadi kata 'magis', dan al-Hadith menyebut Zoroasterisme dengan nama Majusi. Ritual para'magi' bertujuan untuk menyempurnakan seni sihir okultisme dan ilmu tenung, teluh, dan 'santet' dengan melalui bantuan jin dan roh-roh halus. Cabang kepercayaan Qabala juga berkembang ke Mesir Kuno di masa Fir'aun. Ilmu astrologi (peramalan nasib yang dikaitkan dengan posisi bintang-bintang tertentu – zodiak), numerologi (peramalan berdasarkan angka-angka yang dikaitkan dengan alfabet), berkembang di Sumeria, kemudian ke Mesir, ke Babilonia, dan ke Persia, yang dihubungkan dengan penyembahan roh-roh halus. Ajaran Qabala di Persia tertulis di dalam kitab suci mereka yang dinamakan 'Avesta'. Di dalam 'Avesta' Lucifer disebut dalam bahasa Parsi Kuno dengan nama 'Ahuramazda' atau 'Ormuzd', yaitu sang "pembawa cahaya". Untuk menghormati 'Ormuzd', atau Lucifer, kaum Qabalis Zoroaster menyembah api dan matahari sebagai perlambang Lucifer. Kepercayaan Qabala Zoroaster bertahan hidup selama lebih dari seribu tahun sampai Persia ditaklukkan oleh Islam pada tahun 651 Masehi. Meskipun demikian agama ini masih dianut secara sembunyi-sembunyi oleh sebagian kecil pemeluknya di Iran sampai dengan sekarang ini.

Qabala di Jerusalem

Di Palestina kelompok Qabalis dipimpin oleh Herodus II, gubernur Romawi di Jerusalem, dengan dua orang pembantunya, Ahiram Abiyuddan Moav Levi. Herodus II memimpin kaum Qabalis melawan penyebaran ajaran Jesus. Kelompok ini berupaya membangun kembali Haikal Sulaiman di Jerusalem sebagai basis gerakan mereka.

Majelis Kuasa Rahasia Qabala yang beranggotakan sembilan orang pendeta Qabala bersidang pada tanggal 10 Agustus 43 Masehi dipimpin langsung oleh Herodus II, Abiyud, dan Levi. Sidang pada hari itu memutuskan untuk mengakhiri kegiatan Jesus serta para muridnya. Adalah Herodus II yang memerintahkan untuk menyembelih Nabi Zakaria a.s. dengan menggunakan gergaji pemotong kayu. Ia kemudian memerintahkan juga membunuh Nabi Yahya a.s. dan memerintahkan mempersembahkan kepala Nabi Yahya a.s. yang telah dipenggal itu di atas sebuah nampan ke hadapannya.

Dengan kekuasaannya yang luar biasa ia berhasil memerintahkan Majelis Tinggi Pendeta Sanhedrin, badan tertinggi pada hierarchie kependetaan Yahudi, agar mengeluarkan dekrit hukuman mati berdasarkan hukum Romawi di atas kayu salib terhadap Jesus dengan tuduhan telah menghujat Tuhan. Herodus II juga memerintahkan membunuh Petrus, murid Jesus melalui kaki-tangannya bernama Nero. Dalam waktu singkat paling tidak berdiri empatpuluh gereja yang dipengaruhi oleh dan mengikuti ajaran Injil versi Qabala di seluruh tanah Palestina. Dalam tempo yang tidak terlalu lama ajaran Injil versi Qabala berkembang ke seluruh wilayah kekaisaran Romawi dan membangun akarnya di Eropa.

Perang Salib

'The Knight Templars' ('Ksatria Haikal') yang terkenal di dunia Barat, yang menjadi pelopor dan inti dari tentara Salib, dibangun oleh anggota-anggota Majelis Kuasa Rahasia Qabala di Eropa yang umumnya terdiri dari orang orang Yahudi. Tujuan mereka ialah untuk membangun kembali Haikal Sulaiman dan menghidupkan Turki Seljuk. Paus Urbanus II memanfaatkan keadaan tanpa pernah menyebut permintaan dari kaisar Alexius Comnenus itu kepada para raja Eropa Barat. Yang disampaikan oleh Paus Urbanus II ialah bahwa Tanah Suci Jerusalem sedang dikuasai oleh kaum "kafir" dan "bandit". Mereka membunuhi kaum Kristen dan para peziarah, dan menajisi tempat-tempat suci Kristen yang ada di Jerusalem. Pesan Paus Urbanus II itu mirip sekali dengan pesan presiden Bush ketika mengajak rakyat di Barat untuk "membasmi terorisme" yang mengancam "kemerdekaan dan demokrasi". Mereka yang gugur di dalam perang suci dosa-dosanya itu serta-merta akan diampuninya sesuai dengan kuasa yang didapatnya dari Rasul Petrus, dan para martir itu akan langsung masuk sorga. Arti sebenarnya dari Crusade ialah Perang Demi Kayu Salib, yang kemudian diterjemahkan menjadi Perang Salib. Tuhan memanggil kaum Kristen untuk membebaskan Tanah Suci.

Para prajurit Salib yang didukung oleh sejumlah raja-raja Eropa berduyun-duyun menyambut seruan Paus Urbanus II, dan setelah menempuh perjalanan hampir setahun, pada tahun 1099 tentara Salib berhasil merebut Jerusalem dari tangan kaum muslimin. Tatkala Jerusalem jatuh terjadilah pembantaian dan perkosaan, bukan saja terhadap kaum muslimin, tetapi juga terhadap kaum Kristen Timur dan Yahudi yang berlindung di dalam sinagoga-sinagoga mereka. Menurut catatan Encyclopaedia Britanica yang menulisnya berdasarkan surat-surat dari tentara Salib, selama pembantaian itu Masjid Umar digenangi darah kaum muslimin setinggi mata-kaki. Keadaan yang sangat berbeda dengan penyerahan secara damai tanpa pertumpahan darah kota suci Jerusalem oleh Patriarch Jerusalem, Uskup Agung Sophronius, kepada Khalifah Umar bin Khattab r.a. pada tahun 637. Selama 400 tahun di bawah pemerintahan Islam, komunitas Kristen hidup berdampingan dengan damai dengan ummat Islam. Hal itu dibuktikan dengan tetap hadirnya komunitas Kristen dan gereja-gereja mereka di Jerusalem sampai dengan dewasa ini.

Yang penting dicatat, sesudah Perang Salib yang pertama (1096-1099) muncul sebuah ordo militer yang dikenal dengan nama 'The Knights Templar' ('Ksatria Haikal'), yang kemudian menjadi pelopor dan inti dari tentara Salib. The Knights Templar didirikan oleh anggota-anggota Majelis Kuasa Rahasia Qabala yang berhasil menyusupkan anggota-anggotanya sebagai orang Kristen Katolik. Ordo itu semula bernama 'the Knights of the Temple of Solomon' ('Ksatria Haikal Sulaiman'), didirikan kira-kira pada tahun 1119, duapuluh tahun sesudah Jerusalem jatuh ke tangan tentara Salib. Ordo militer itu mendapat restu dari Uskup Agung Warmund dari Jerusalem. Sejak tahun 1140 mereka lebih dikenal dengan nama the Templar. Tujuan mereka yang sebenarnya ialah membangun kembali Haikal Sulaiman yang dihancurkan oleh raja Chosroe dari Persia pada tahun 610, dan menghidupkan kembali kepercayaan Qabala di Palestina.
Tokoh 'Knights Templar' bernama Codei Froi de Bouillar, ditahbiskan oleh Uskup Agung Warmund menjadi raja Kristen Qabalis yang pertama di Jerusalem. Karena ketenaran mereka di medan pertempuran, ordo the Templar menjadi sangat populer. Mereka banyak memperoleh sumbangan baik berupa tanah maupun emas dan uang dari raja-raja Eropa. Tetapi keadaan itu menjadikan the Templar congkak. Selama dua abad the Templar menjadi kekuatan yang sangat ditakuti di Eropa. Selama itu pula the Templar menyebarkan paham Qabala mereka melalui infiltrasi politik dan sosial untuk menggoyahkan kewibawaan Gereja. Di bidang agama mereka menyebarkan ajaran Qabala yang oleh Gereja kemudian dipandang sesat (heresy).

Barulah pada awal abad ke-13 bangsa-bangsa Eropa berani bertindak terhadap the Templar, dan memutuskan untuk menyapu bersih mereka. Pada tahun 1307 raja Perancis Phillipe IV dengan dukungan Paus Clementus V, menangkap dan memenjarakan Jacques de Molay, pemimpin tertinggi ordo the Templar dan sebagian besar anggotanya. Paus Clementus V mengeluarkan sebuah dekrit yang menyatakan ordo the Knights Templar sebagai kelompok Anti-Kristus. Atas dasar dekrit tersebut Molay dan para pengikutnya dijatuhi hukuman dibakar di kayu sula pada 1307.

Beberapa tokoh the Templar yang berhasil lolos bersumpah untuk menghancurkan Gereja, para raja dan rahib Katolik. Mereka umumnya melarikan diri ke Inggris dan Jerman. Di Inggris mereka membentuk organisasi rahasia bawah tanah bernama Magna Societas ('Masyarakat Agung') yang kemudian berubah nama menjadi the Freemasonry. Di Inggris mereka mendirikan the Freemason Grand Lodge of England, dan yang berhasil menyelamatkan diri ke Skotlandia mendirikan the Scottish Rites (Freemasons sekte Skot). Beberapa lagi menyelamatkan diri ke kerajaan-kerajaan Jerman dan menyusup ke dalam organisasi 'Illuminati' Bavaria yang dipimpin oleh Adam Weishaupt, suatu cabang Qabala di Eropa. Setelah 'Illuminati' juga dinyatakan terlarang di Bavaria, mereka memperkuat 'Freemasonry' di Jerman yang dipimpin Friederich yang Agung, raja Prussia.

Di Inggris pada tahun 1381 Magna Societas yang kemudian menjadi Freemasonry berhasil menggerakkan suatu revolusi yang dikenal dengan nama 'the Peasant Rebellion', dan berhasil membunuh banyak petinggi Gereja Katolik, antara lain Uskup Agung Sudbury dari Canterbury dan nyaris menumbangkan raja Richard II.

Setelah dengan sabar mereka berhasil menyusup ke dalam birokrasi kerajaan, pada tahun 1717 the Freemasonry tampil ke permukaan yang dimulai di kota London. Gerakan itu disusul di Amerika Serikat dan di berbagai kota besar di Eropa. (BERSAMBUNG...)

No comments:

Post a Comment